REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari mengatakan anak-anak dari keluarga miskin berpotensi kekurangan gizi hingga stunting karena pembelian rokok memakan sebagian besar pengeluaran rumah tangga. "Karena pemenuhan gizi anak-anak dikalahkan dengan pengeluaran untuk membeli rokok," kata Lisda Sundari, di Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Menurut Lisda Sundari, pengeluaran rumah tangga keluarga miskin untuk konsumsi rokok tetap tinggi dan situasi ini tidak berubah dalam 10 tahun terakhir. "Pengeluaran untuk konsumsi rokok keluarga miskin tetap tinggi," katanya.
Selain terancam mengalami kekurangan gizi, anak-anak yang orang tuanya merokok, sangat berpotensi mengalami putus sekolah. Lisda menambahkan, dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia Indonesia. "Dalam jangka panjang akan akan mempengaruhi kualitas SDM," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan konsumsi rokok menduduki posisi tertinggi kedua bagi pengeluaran rumah tangga, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Tingginya konsumsi rokok mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan lain seperti makanan bergizi yang dibutuhkan keluarga, terutama anak-anak.
Pemerintah pun berencana menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun depan. Pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau rata-rata sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024 dengan jenis sigaret kretek tangan (SKT) maksimal 5 persen.
Pemerintah juga melakukan penyesuaian terhadap batasan minimum harga jual eceran (HJE) dengan memperhatikan perkembangan harga pasar dan rata-rata kenaikan cukai rokok. Selain itu, pemerintah sekaligus menaikkan tarif cukai untuk seluruh jenis rokok elektrik (REL) sebesar 15 persen dan hasil produk tembakau lainnya (HPTL) sebesar 6 persen setiap tahun untuk lima tahun ke depan.
Menkeu Sri Mulyani menilai kenaikan tarif cukai rokok dilakukan untuk pengendalian konsumsi rokok, keberlangsungan tenaga kerja, penerimaan negara, dan pengawasan bea cukai ilegal.