Senin 12 Dec 2022 21:47 WIB

Madinah Pernah Menjadi Tempat Hasan dan Keluarga Husain Menghindari Jahatnya Politik

Madinah pernah menjadi saksi bisu perebutan kekuasaan penguasa Islam

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Umat Islam melintas di depan Masjid Nabawi, Kota Madinah, Arab Saudi (Ilustrasi). Madinah pernah menjadi saksi bisu perebutan kekuasaan penguasa Islam  .
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Umat Islam melintas di depan Masjid Nabawi, Kota Madinah, Arab Saudi (Ilustrasi). Madinah pernah menjadi saksi bisu perebutan kekuasaan penguasa Islam .

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pada periode awal Dinasti Umayyah, Madinah cenderung menjadi tempat bagi mereka yang ingin mengungsi dari hiruk-pikuk politik. 

Hasan bin Ali tinggal di sana sesudah melepaskan titel khalifah. Begitu pula dengan istri-istri dan anak-anak Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW yang syahid dalam insiden Karbala. 

Baca Juga

Orang-orang Bani Umayyah yang tidak mau terlibat dalam kepemimpinan Mu'awiyah dan Yazid bin Mu'awiyah juga menetap di Kota Nabi. 

Era Yazid menimbulkan tekanan bagi penduduk Madinah. Raja kedua Dinasti Umayyah itu bahkan mengirimkan pasukan di bawah komando Muslim bin Uqbah untuk menyerbu kota tersebut. 

Mereka membunuh para penentang rezim Umayyah yang tinggal di sana. Masyarakat setempat pun hidup dalam ketakutan. Pada 63 H atau 682 M, Abdullah bin Zubair menyatakan dirinya sebagai khalifah di Makkah. 

Penduduk Madinah mengakui kepemimpinannya. Dimulailah suatu kontestasi politik baru, yakni antara kutub Haramain dan Damaskus. Bagaimanapun, selama beberapa tahun pertentangan politik itu terjadi, Madinah tidak pernah mengalami kerasnya pertumpahan darah. 

Pada 70 H atau 689 M, Dinasti Umayyah mengendalikan total pemerintahan atas dua kota suci, Makkah dan Madinah. Sejak itu, stabilitas politik kembali dirasakan masyarakat setempat.

Madinah dengan cepat bertransformasi sebagai kota intelektual. Hal itu wajar adanya karena banyak generasi sahabat Rasulullah SAW, tabiin, dan tabiit tabiin yang menetap dan mengajar di kota tersebut. 

Pada era Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Kota Nabi mengalami kemajuan pesat. Majelis-majelis ilmu kian banyak dan tersebar. Selain itu, penguasa juga merenovasi Masjid Nabawi. 

Begitu pula dengan berbagai infrastruktur publik, semisal jalan, pasar, sekolah, saluran irigasi, dan sebagainya. Alhasil, kondisi ekonomi dan sosial di sana pun semakin berkembang.

Pada 132 H atau 750 M, Dinasti Abbasiyah mengalahkan Bani Umayyah. Sejak itu, Madinah mengalami tiga fase penting. Pertama, periode antara 132-363 H (750-974 M). Kota Nabi diwarnai ketenangan dan prahara politik yang silih berganti. 

Ketika dipimpin gubernur yang cakap, kota tersebut merasakan perkembangan yang signifikan dalam bidang dakwah, ilmu pengetahuan, dan sosial. Akan tetapi, bila gubernur menjalankan kebijakan-kebijakan yang tidak efektif, stagnan terjadi di sana.

Kedua, periode antara 363-546 H (974-1151 M). Dua abad lamanya, Madinah terikat dengan kekuasaan Dinasti Fatimiyyah yang berpusat di Mesir. 

Hubungan antara gubernur-gubernur Madinah dan Mesir cenderung fluktuatif. Terkadang hubungan tersebut sekadar formalitas. Ketiga, periode antara 546-652 H (1151-1254 M).

Di Suriah, Nuruddin Zanki naik sebagai penguasa yang bercita-cita menyatukan Muslimin dari Irak hingga Mesir. 

Baca juga: Hidayah adalah Misteri, Dunia Clubbing Pintu Masuk Mualaf Ameena Bersyahadat

http://republika.co.id/berita//rmnays320/hidayah-adalah-misteri-dunia-clubbing-pintu-masuk-mualaf-ameena-bersyahadat

Pemimpin berdarah Turki itu juga sukses menghalau Pasukan Salib. Imbasnya bagi Madinah, dalam masa tersebut umumnya diliputi ketenangan dan kelapangan. 

Tak hanya memperbaiki jalan-jalan untuk rute haji, Nuruddin pun memberikan kekayaan yang berlimpah untuk membangun berbagai infrastruktur di Madinah. Kebijakannya diteruskan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.

Wangsa Ayyubi tergantikan Dinasti Mamluk di Mesir. Madinah ikut merasakan imbasnya. Umumnya, kondisi kota setempat silih berganti antara konflik politik dan stabilitas. 

Kehidupan di sana dapat dipandang dari dua perspektif, yakni arus ilmu, ibadah, dan pekerjaan se hari-hari di satu sisi dan arus pergolakan politik di sisi lain. 

Perebutan kekuasaan kerap terjadi, termasuk antara penguasa Madinah dan sepupu mereka yang memerintah di Makkah.

Dari Anatolia, Sultan Selim I berhasil mengalahkan Mamluk. Sejak itu, penguasaan atas dua kota suci Makkah dan Madinah berada di tangan Dinasti Turki Utsmaniyah. Pada 939 H atau 1532 M, Sultan Suleiman I al-Qanuni membangun benteng di sekitar kota tersebut sehingga menguatkan jaminan keamanan. Tidak hanya memakmurkan Madinah, Masjid Nabawi pun direnovasi dengan menambah berbagai fitur modern.  

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement