Senin 12 Dec 2022 21:11 WIB

Tarif Cukai Hasil Tembakau Naik, Rokok Jadi Mahal, Pembelian pun Turun

Rumah tangga miskin rata-rata mengeluarkan Rp 246.382 per bulan khusus untuk rokok.

Pedagang menunjukkan cukai rokok yang di jual di Jakarta, Sabtu (5/11/2022). Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024 yang bertujuan untuk mengendalikan konsumsi maupun produksi rokok.
Foto:

Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati, meminta pemerintah melakukan pengkajian kenaikan tarif cukai hasil tembakau 2023-2024. Sebab, bisa berpengaruh ke penerimaan negara dan tenaga kerja di industri rokok.

Apalagi, sampai saat ini cukai hasil tembakau masih sumber penerimaan negara terbesar dibanding cukai lain. Ia mengingatkan, perlu pertimbangkan berbagai sisi karena industri ini banyak menyerap tenaga kerja, terutama perempuan.

"Kita minta pemerintah harus bisa mempertimbangkan keseimbangan, antara sisi kesehatan itu juga penting, konsumsi rokok kalangan anak-anak itu harus dibatasi dan tapi juga bagaimana peran negara dari cukai itu belum ada penggantinya," kata Anis, Senin (12/12/2022).

Ia menilai, ini memang masih jadi dilema karena jika dinaikkan tentu berdampak ke petani dan pekerja industri tembakau. Serta, tidak langsung berpengaruh ke perekonomian masyarakat yang memang menggantungkan hidup ke industri tembakau.

Anis mengingatkan, selain berdampak ke industrinya, tentu akhirnya petani-petani tembakau akan terkena dampaknya. Walaupun kenaikan dimaksudkan untuk melakukan pengendalian konsumsi, tapi dari yang dipaparkan ternyata tidak signifikan.

"Kenaikan cukai itu tidak serta merta menurunkan konsumsi rokok dan itu didukung oleh beberapa hasil survei," ujar Anis.

Anis turut meminta pemerintah memperhatikan peluang kemunculan rokok ilegal dampak dari kenaikan tarif cukai. Untuk itu, perlu roadmap transformasi tentang industri hasil tembakau agar mempermudah gambaran dalam mengambil keputusan.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI, Muhaimin Iskandar, turut meminta pemerintah untuk mempertimbangkan ulang keputusan menaikkan cukai rokok elektrik sebesar 15 persen selama lima tahun ke depan. Kenaikan dikeluhkan pengusaha rokok elektrik.

Sebab, dikhawatirkan akan berimbas kepada eksistensi usaha yang baru berkembang beberapa tahun terakhir, terlebih mayoritas industri ini merupakan pelaku UMKM. Ia berharap, ada perhatian dan perlindungan agar kebijakan tidak memberatkan.

Misal, cukai yang dikenakan tidak terlalu memberatkan seperti yang direncanakan. Muhaimin berharap, pemerintah melindungi pengusaha rokok elektrik dari gempuran investor asing, sehingga kontrol penting dilakukan demi menjaga eksistensi.

"Mereka merupakan penggerak ekonomi dan industri rumah tangga yang telah mendorong pengusaha baru yang tumbuh, termasuk petani tembakau masa mendatang. Karena itu, yang perlu dilakukan pemerintah adalah meningkatkan perlindungan," kata Muhaimin.

Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) dan Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) juga sudah meminta pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan kenaikan cukai rokok pada 2023 dan 2024 rata rata  sebesar 10 persen. Hal ini tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat masih berat akibat kenaikan bahan bakar minyak dan pandemi Covid 19 yang belum reda, serta ekonomi dunia akibat situasi politik global yang memanas.

Ketua Gaprindo Benny Wahyudi mengatakan, saat situasi seperti ini seharusnya ada kelonggaran dari pemerintah. Bukan justru semakin dipersulit dengan kenaikan cukai sebesar 10 persen.

 

“Sekiranya pemerintah sedang membutuhkan dana pembangunan, sehingga harus menaikan cukai, maka kenaikannya tidak lebih dari tujuh persen. Selain itu kenaikan cukai juga harus diikuti pemberantasan rokok ilegal,” ujarnya, Jumat (25/11/2022).

 

photo
Tarif cukai rokok - (Tim infografis Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement