Rabu 07 Dec 2022 19:54 WIB

Benarkah Harus Viral Dulu Agar Direspons Pemerintah?

Pemerintah terbukti tidak selalu menuruti publik meski kasusnya viral.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Indira Rezkisari
Direktur Eksekutif KedaiKopi, Kunto Adi Wibowo, menilai anggapan suatu hal harus viral terlebih dahulu agar direspons oleh pemerintah tidak sepenuhnya benar.
Foto: istinewa/doc humas unpad
Direktur Eksekutif KedaiKopi, Kunto Adi Wibowo, menilai anggapan suatu hal harus viral terlebih dahulu agar direspons oleh pemerintah tidak sepenuhnya benar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo, menilai anggapan suatu hal harus viral terlebih dahulu agar direspons oleh pemerintah tidak sepenuhnya benar. Sebab, menurut dia, pemerintah memiliki prioritas kebijakan yang harus dikawal hingga akhirnya menjadi produk hukum.

Kunto menyebutkan, berdasarkan hasil riset KedaiKOPI terhadap 31 kasus yang sempat viral dan besar di Indonesia, tidak semuanya direspons oleh pemerintah. Kritik yang disampaikan oleh masyarakat tidak semuanya didengar dan dijadikan pertimbangan.

Baca Juga

“Misalnya isu Komodo, menaikan tarif wisata jadi Rp 2,7 juta yang kemudian diprotes dan viral, itu kemudian ditarik. Tapi perbincangannya tak sampai 50.000 kali di Twitter, hanya 20.000 perbincangan,” ujar Kunto, dalam diskusi bertajuk 'Penyempitan Ruang Sipil dan Upaya Membangun Partisipasi yang Bermakna' di Jakarta, Rabu (7/12/2022).

Dia kemudian membandingkan isu Komodo tersebut dengan isu penolakan Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Di mana, ketika itu perbincangan mengenai Omnibus Law Ciptaker di platform yang sama bisa mencapai 400.000 percakapan dalam sehari. Meski begitu, pemerintah tidak kemudian menarik aturan tersebut.

"Jika dibandingkan dengan penolakan Omnibuslaw Ciptaker, bisa sampai 400.000 perbincangan dalam sehari. Tapi yang ditariknya adalah Komodo. Berarti bukan berdasarkan viralitas," kata dia.

Menurut Kunto, perbedaan respons terhadap kritik yang disampaikan publik menunjukan pemerintah punya strategi khusus dalam upaya merealisasikan sebuah produk hukum. Di mana, pemerintah memiliki strategi tertentu berdasarkan pemetaan yang ada.

"Artinya pemerintah punya strategi tertentu berdasarkan pemetaannya. Seperti isu Komodo dibiarkan dikritik, lalu ditarik lagi kebijakannya. Beda dengan Omnibus law, tidak dibatalkan," jelas dia.

Kunto membandingkan hal itu dengan pemerintah Korea Selatan. “Di Korea, jika ada petisi hingga 200.000, itu DPR-nya wajib merespons. Amerika juga sama, tapi di kita tidak terjadi,” kata Kunto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement