REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR - Dinas Kesehatan Kota Denpasar menyebutkan masih adanya pemberian stigma bagi orang dengan HIV (ODHIV) dari masyarakat maupun petugas kesehatan dapat berdampak pada putusnya pengobatan atau terapi antiretroviral (ARV).
"Stigma yang masih muncul tidak saja datang dari masyarakat umum, tetapi terkadang juga datang dari petugas kesehatan," kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Denpasar AA Ngurah Gede Dharmayuda di Denpasar, Kamis (1/12/2022).
Dharmayuda menyampaikan hal tersebut dalam acara diskusi tentang Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) dalam Program HIV dengan Pendanaan Domestik melalui Mekanisme Swakelola Tipe 3 yang diselenggarakan oleh Indonesia AIDS Coalition (IAC). Menurut dia, ketika ODHIV mendapatkan stigma saat mengakses layanan kesehatan, maka mereka akan enggan untuk datang lagi berobat.
Akibatnya, mereka bisa putus terapi ARV karena 'mangkir' dari layanan kesehatan dalam periode tertentu sehingga mengalami lepas pengamatan dari petugas kesehatan. Apabila ODHIV yang dijadwalkan pengambilan obat tiap bulannya dan dia mangkir untuk datang ke klinik guna melanjutkan pengobatannya selama tiga bulan berturut-turut, maka pasien seperti ini dikategorikan sebagai pasien loss to follow-up (LFU).
Di Kota Denpasar, dari 5.712 pasien yang tercatat harus mendapatkan terapi ARV, sebanyak 2.512 orang berstatus sebagai LFU. "Selain pemberian stigma, ada pula ODHIV yang menjadi berstatus LFU ketika mereka kembali ke daerahnya sulit mengakses ARV. Padahal ketika berada di Denpasar tidak menemui kendala untuk mendapatkan ARV. Dengan demikian pasien ini menjadi berstatus LFU," ucapnya.
Hingga saat ini, jumlah kasus kumulatif HIV-AIDS yang ditemukan di Kota Denpasar tercatat sebanyak 14.577 orang. "Kami terus berupaya untuk meningkatkan kapasitas dari petugas kesehatan supaya tidak ada lagi stigma dari mereka. Kami ingin memberikan layanan terbaik, nyaman, dan aksesibilitasnya kami tingkatkan," ucap dia.
Dengan demikian, tidak ada lagi tindakan diskriminatif baik kekerasan verbal maupun non-verbal yang dialami oleh ODHIV ketika mengakses layanan kesehatan. Selain itu, Dinas Kesehatan Kota Denpasar juga terus mendukung layanan edukatif dan promotif kepada masyarakat secara luas supaya mulai kenal dan tahu dan tidak memberikan stigma bagi ODHIV.