Jumat 25 Nov 2022 00:08 WIB

DIM RKUHP Pemerintah: Presiden Bisa Sampaikan Aduan Tertulis Jika Dihina

Setidaknya, ada tujuh substansi yang diusulkan untuk berubah.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus Yulianto
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej usai menyerahkan draf RKUHP terbaru ke Komisi III DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/11).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej usai menyerahkan draf RKUHP terbaru ke Komisi III DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR bersama pemerintah yang diwakilkan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy kembali membahas rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Salah satu yang kembali dibahas adalah Pasal 240 tentang penghinaan presiden.

Dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) milik pemerintah, Eddy menjelaskan bahwa pihaknya menambahkan beberapa ayat pada Pasal 240. Dalam Ayat 1 dijelaskan, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

"(Ayat) 2, dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," ujar Eddy dalam rapat kerja dengan Komisi III, Kamis (24/11).

Dalam Ayat 3 dijelaskan, tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina. "(Ayat) 4, aduan sebagaimana dimaksudkan pada Ayat 3 dapat dilakukan secara tertulis oleh pimpinan lembaga negara," ujar Eddy.

Pemerintah juga menambahkan penjelasan untuk Pasal 240. Khususnya pengertian tentang pemerintah adalah presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

"Yang dimaksudkan dengan kerusuhan adalah suatu kondisi di mana timbul kekerasan terhadap orang atau barang yang dilakukan oleh sekelompok orang paling sedikit tiga orang," ujar Eddy.

Dia juga menjelaskan, pemerintah mengusulkan untuk mengubah beberapa substansi. Perubahan substansi dalam RKUHP, ucap Eddy, merupakan hasil dari pertimbangan pihaknya dalam beberapa masukan dari Komisi III dalam rapat pada 9 November lalu. Setidaknya, ada tujuh substansi yang diusulkan untuk berubah.

"Reformulasi penjelasan hukum yang hidup dalam masyarakat, penyesuaian definisi makar menjadi niat untuk melakukan serangan. Lalu, mengadopsi ketentuan mengenai rekayasa kasus dalam Bab Tindak Pidana terhadap proses peradilan, bagian penyesatan proses peradilan," ujar Eddy dalam rapat kerja dengan Komisi III, Kamis (24/11).

Selanjutnya adalah perubahan jangka waktu berlaku RUU KUHP dari dua tahun menjadi tiga tahun setelah diundangkan. Kemudian, reformulasi pasal mengenai penghinaan terhadap lembaga negara dibatasi pada lembaga kepresidenan, MA, MK, MPR, DPR, dan DPD.

"Pengecualian penganiayaan hewan dalam hal dilakukan untuk budaya atau adat istiadat. Terakhir, harmonisasi pertanggungjawaban korporasi dengan Perma 13/2016," ujar Eddy.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement