Selasa 22 Nov 2022 06:11 WIB

'Indonesia Hampir Buntung dengan Adanya Perjanjian DCA dan FIR dengan Singapura'

Pakar menilai RI tidak diuntungkan oleh kerja sama DCA dan FIR dengan Singapura.

Dua pesawat F-16 milik Indonesia dan Singapura mengadakan pertemuan di udara atau meet in the air, pada Oktober. Indonesia dan Singapura memiliki perjanjian flight information region (FIR) yang masih menunggu diratifikasi. (ilustrasi)
Foto:

Diketahui, pemerintah Indonesia segera memproses ratifikasi tiga perjanjian dengan Singapura. Indonesia dan Singapura telah melakukan perjanjian kerja sama dalam tiga hal, yakni Penyesuaian Area Layanan Navigasi Penerbangan atau Flight Information Region (FIR), Defence Cooperation Agreement atau kerja sama pertahanan (DCA), dan ekstradisi.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD sebelumnya menjelaskan, dalam tata hukum di Indonesia, perjanjian internasional harus diratifikasi agar memiliki daya laku. Namun, tidak semua harus diratifikasi dengan undang-undang.

“Ada yang cukup dengan Perpres, Permen atau MoU biasa. Yang harus diratifikasi dengan UU, antara lain, perjanjian yang terkait dengan pertahanan dan hukum," ujar Mahfud.

DPR bingung

 

Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin mengaku bingung dengan pemerintah soal perjanjian antara Indonesia-Singapura terkait kerja sama pertahanan atau DCA dan FIR. Pasalnya, DCA akan diratifikasi oleh DPR untuk menjadi undang-undang.

Sedangkan, FIR diratifikasi oleh pihaknya lewat peraturan presiden (Perpres). Ditambah pemerintah hingga saat ini belum menjelaskan lebih detail terkait dua perjanjian tersebut dengan Komisi I.

"Kita belum jelas apakah misalnya DCA ini ada hubungan misalnya dengan FIR, FIR ada hubungan dengan ekstradisi, ekstradisi ada hubungan dengan pinjaman duit dan sebagainya, kita belum tahu nih," ujar Hasanuddin, Senin (21/11/2022).

Secara khusus ia mengkritisi DCA atau kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Singapura. Pasalnya, ada alasan terkait kedaulatan negara sehingga Komisi I menolak untuk meratifikasinya pada 2007.

Di samping itu, draf RUU tentang DCA saat ini juga masih sama dengan yang ada pada 2007. Ditambah, pemerintah juga belum menjelaskan lebih detail terkait poin-poin yang akan diatur di dalamnya.

"Dipaparkan dulu seperti ini, seperti ini, apakah ini melanggar aturan ketentuan-ketentuan yang kita miliki. Dalam artian kita harus tetap mempertahankan eksistensi kita, menjaga kedaulatan kita atau kita serahkan sebagian karena hanya dapat duit dan sebagainya," ujar Hasanuddin.

Anggota Komisi I Christina Aryani juga menyampaikan bahwa DCA dan FIR ini merupakan sesuatu yang diperdebatkan. Pasalnya, DCA dan FIR bersama perjanjian ekstradisi merupakan paket kerja sama antara Indonesia-Singapura.

Hal inilah yang menimbulkan kebingungan, karena DCA dan ekstradisi akan diratifikasi DPR untuk menjadi undang-undang. Sedangkan FIR yang notabenenya satu paket perjanjian justru diratifikasi lewat Perpres.

"Kita tidak pernah tahu kenapa dipaketkan atau tidak, dan kita tidak bisa berasumsi pemerintah punya strategi, tapi kita tidak tahu strateginya, kan ini susah juga. Kita tidak bisa menebak jalan pikiran pemerintah kan," ujar Christina.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, seharusnya tiga perjanjian tersebut diratifikasi lewat undang-undang. Sehingga sebelum mendengarkan penjelasan pemerintah, Komisi I belum dapat memastikan untuk meratifikasi DCA dan FIR.

"Nah gimana strateginya, apa kita hold DCA untuk tunggu sampai ada penjelasan detail dari pemerintah. Sehingga yang sesuatu yang bisa terima alasannya sahih bagi kita atau kita dengar dulu masukan dari ahli-ahli untuk kemudian jadi pengayaan, tapi kita hold dulu jangan kita beri persetujuan untuk ratifikasinya," ujar Christina. 

 

photo
Negara Pembeli Jet Tempur Rafale - (dw/aljazirah/france24)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement