Jumat 18 Nov 2022 11:03 WIB

Jokowi dan Ancaman The Hidden Hunger

The Hidden Hunger merupakan kelaparan tersembunyi (kurang gizi tersembunyi)

Petani membersihkan rumput atau matun pada lahan persawahan di Kulonprogo, Yogyakarta, Senin (31/10/2022).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Petani membersihkan rumput atau matun pada lahan persawahan di Kulonprogo, Yogyakarta, Senin (31/10/2022).

Oleh : M. Nasir Djamil, Anggota DPR RI dari dapil Aceh.

REPUBLIKA.CO.ID, Ada kabar yang tidak menggembirakan untuk Indonesia. Indeks kelaparan  Global Indonesia memiliki skor 19.1, sama dengan Kamerun dan Gambia. Lalu ada juga cerita soal gagalnya “food estate”-program andalan Presiden Jokowi di Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah. Lahan   seluas 600 hektar yang awalnya hutan itu dibabat sampai habis untuk proyek menanam singkong. Kedua hal tersebut harus menjadi warning serius bagi ketersedian pangan  untuk rakyat kecil dan pinggiran pedesaan.

Pantas saja jika  tiga perempat  penduduk dunia yang berada di kawasan pedesaan  kini   masih dihantui oleh kondisi menderita kelaparan. Dan mereka umumnya adalah petani, atau buruh tani tuna lahan, yang sangat bergantungan kepada kegiatan pertanian. Tingkat pendapatan pangan sangat ditentukan oleh sehat atau tidaknya ekonomi pedesaan. Dan perlu juga dicatat bahwa 50 persen masalah bangsa dunia yang bergabung dalam G20. Jika kita berhasil sediakan pangan  maka masalah rakyat kecil dapat kita atasi.

Presiden Jokowi sepertinya menyadari situasi di atas. Diakui atau tidak, selama delapan  tahun masa pemerintahan Jokowi banyak masyarakat yang lapar dan konflik antar mereka tidak dapat dihindari. Salah satunya soal ketersedian pangan  untuk memenuhi isi perut mereka. Walaupun program untuk mengentaskan kemiskinan dijalankan, namun ancaman terhadap kelaparan masih ada di depan mata.  Selama ini banyak orang mengira bahwa orang lapar banyak  di Benua Afrika. Padahal hasil studi memperlihatkan separuh atau 418 juta orang kelaparan di dunia justru ada di Benua Asia.

Dilansir dari Laporan State of Food Security and Nutrition in the World pada tahun 2021 oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mengatakan mayoritas berada di Asia Selatan, yang menyumbang 305,7 juta orang kelaparan, Asia Tenggara (48,8 juta orang), dan Asia Barat (42,3 juta orang). Kemudian Indonesia menempati peringkat 70 dari 107 negara yang mengalami hidden hunger.

The Hidden Hunger, merupakan kelaparan tersembunyi (kurang gizi tersembunyi) yang menjadi tantangan besar yang berkaitan dengan masalah gizi yang serius atau tidak terpenuhinya nutrisi penting, yang seharusnya ada pada makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Istilah dari Hidden Hunger juga bisa disebut sebagai defisiensi zat gizi mikro, yang meliputi vitamin dan mineral.

Menurut Riskesdas tahun 2018, gejala kekurangan gizi yang dijumpai di Indonesia salah satunya ialah stunting, wasting, dan underweight. Indikator ini dimbil dari Berat Badan (BB)/Usia, dan berat badan terhadap tinggi badan yang dinyatakan dalam BB/TB. Underweight merujuk pada klasifikasi dari status gizi BB/U. Indikator BB/U menunjukkan pertumbuhan berat badan anak terhadap umurnya, dinilai sesuai atau tidak. Menurut Global Hunger Index (GHI), pada 2021 tingkat kelaparan Indonesia berada di level 18, sudah menurun cukup jauh dibanding tahun 2000 yang indeksnya masih di level 26,1. GHI mengukur tingkat kelaparan dalam skala 0-100. Semakin tinggi skornya, maka tingkat kelaparan dinilai semakin buruk. GHI juga menggambarkan situasi kelaparan suatu negara yang berhubungan dengan kebutuhan dasar fisiologis manusia, yaitu kebutuhan pangan dan nutrisi.

Kondisi hidden hunger bisa terjadi di segala umur. Untuk itu, perlu berhati-hati, yang bahaya ini adalah hidden hunger Ini bisa terjadi pada berbagai siklus umur mulai dari anak balita, anak sekolah, dan bahkan pada beberapa orang dewasa, Kondisi hidden hunger ini di Indonesia masih sering terjadi. Dan buruknya, ini bisa memengaruhi baik fisik maupun psikis. Kasus kelaparan tersembunyi secara global telah ditemukan sejak tahun 1990, sayangnya kasus ini tidak begitu disentuh, padahal hidden hunger ini bisa menyebabkan manusia sakit dan daya tahan menurun sehingga menghambat segala aktivitas. Empat puluh lima persen (45%) orang Indonesia belum bisa memperaktikan pola makan yang bervariasi atau seimbang dengan memenuhi empat sehat dan lima sempurna.

Di tengah Indonesia yang menuju era disrupsi, bonus demografi maupun Indonesia EMAS 2045 mendatang, muncul ke permukaan public bahwa lima puluh persen (50%) rakyat Indonesia terkena penyakit hidden hunger, ini langsung dinyatakan oleh guru besar IPB Prof. Drajat Martianto, beliau menyatakan bahwa kondisi ketahan pangan Indonesia cukup baik, namun terjadi penurunan pada ketahanan pangan nasional. Yang menjadi masalah adalah hampir 50 persen penduduk Indonesia yang kekurangan sayuran, buah-buahan, pangan hewani dan kacang-kacangan. Kualitas konsumsi pangan Indonesia belum baik. Penelitian beliau menunjukkan 1 dari 2 penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan hewani, buah, dan sayuran.

Mereka mengalami kelaparan tersembunyi. Permasalahan dan tantangan untuk mewujudkan ketahanan pangan Indonesia berkelanjutan bersifat multidimensi, mencakup aspek ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan. Tantangan untuk mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu misalnya 10 tahun ke depan dari sekarang diharapkan dapat diprediksi dengan lebih akurat.

Strategi menuju ketahanan pangan Indonesia berkelanjutan 2025 dikelompokkan menurut subsistem dalam sistem ketahanan pangan seperti diatur dalam UU Pangan, yaitu ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, dan pemanfaatan pangan. Seluruh strategi yang ditawarkan dalam artikel ini dirancang sejalan dengan arahan dari UU Pangan.

Modal utama dalam mewujudkan ketersediaan pangan adalah kekayaan sumber daya yang beragam, ketersediaan teknologi, dan pengembangan kemitraan strategis dengan berbagai komponen pemangku kepentingan. Empat strategi yang diajukan dalam membangun ketersediaan pangan adalah sebagai berikut: Pertama, membangun penyediaan pangan berasal dari produksi domestik dan cadangan pangan nasional. Kedua, untuk memberdayakan usaha pangan skala kecil yang menjadi ciri dominan pada ekonomi pertanian Indonesia.

Ketiga, mempercepat diseminasi teknologi dan meningkatkan kapasitas petani dalam mengadopsi teknologi tepat-guna untuk peningkatan produktivitas tanaman dan efisiensi usaha. Keempat, mempromosikan pengurangan kehilangan pangan melalui pemanfaatan teknologi penanganan, pengolahan, dan distribusi pangan. Kelima, “food estate” harus dikelola secara professional dan melibatkan masyarakat setempat serta memperhatikan kearifan lokal. Hindari  dan awasi secara ketat proyek “food estate” agar tidak  dibelokkan untuk kepentingan politik dan ekonomi segelintir orang. Keenam adalah soal alokasi anggaran untuk ketahanan pangan yang masih belum menggambarkan bahwa kita serius mengurus keseimbangan pangan nasional. Pembiayaan infrastruktur yang diharapkan memiliki keterkaitan dengan penataan dan pengelolaan pangan nasional, justru yang terjadi adalah sebaliknya.

Padahal Indonesia berpotensi  mengalami kerugian lebih dari 50 triliun rupiah dari rendahnya produktivitas kerja akibat Anemia Gizi Besi (AGB). Angka ini belum termasuk biaya layanan kesehatan akibat defisiensi gizi mikro yang parah dan masalah-masalah gizi yang lain. “Komitmen pemerintah melakukan fortifikasi pangan ke depan juga masih sangat kuat. Ini ditunjukkan dengan masuknya program fortifikasi pangan pada “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional” (RPJMN) 2019-2024. Namun demikian, disadari bahwa dinamika program fortifikasi pangan sangatlah besar, dalam  menanggulangi hidden hunger di Indonesia.

Akhirnya  saya ingin menanyakan kepada Presiden Jokowi, apakah mantan  Walikota Solo itu telah menyerukan kepada anggota G20 untuk membangun kesepakatan bersama tentang “keseimbangan pangan dunia”. Tentu saja basisnya adalah kekuatan pangan lokal masing-masing yang diikat dengan kerjasama global. Kerjasama itu juga sangat mungkin dilakukan dengan organisasi pangan dunia atau FAO atau kerjasama bilateral  antaranggota G20.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement