Jumat 11 Nov 2022 23:04 WIB

Tidak Perlu Malu Meminta Maaf ke Soekarno

Tidak ada yang salah dari substansi yang diperdebatkan.

Usulan permintaan maaf kepada mantan Presiden RI, Soekarno menjadi perdebatan publik. Foto ilustrasi prajurit TNI Kodim 0724 Boyolali membersihkan patung Soekarno di Boyolali, Jawa Tengah.
Foto: ANTARA /Aloysius Jarot Nugroho/pras.
Usulan permintaan maaf kepada mantan Presiden RI, Soekarno menjadi perdebatan publik. Foto ilustrasi prajurit TNI Kodim 0724 Boyolali membersihkan patung Soekarno di Boyolali, Jawa Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Analis Senior Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia (POLKASI), Janu Wijayanto, menilai tidak perlu malu meminta maaf kepada Soekarno.

Janu mengatakan tidak ada yang salah dari substansi yang diperdebatkan dalam perlu tidak negara minta maaf atas tindakan di masa lalu, terhadap Sukarno.

"Negara ini apa dan siapa? Negara setidaknya ada tiga unsur negara yaitu pemerintahan berdaulat, ada rakyat dan ada wilayah. Jika melihat hal itu tentu bisa direnungkan cara tepat bagaimana Bangsa ini bisa mengakui kesalahan masa lalu dan meminta maaf atas kesalahan yang sudah terjadi, sifatnya korektif dan tak perlu merasa malu," kata Janu dalam keterangan persnya, Sabtu (11/11/2022).

Menurut alumni Kajian Stratejik Intelijen UI ini, yang membuat publik sensitif alias baper, selain yang memang golongan yang tidak suka garis politik Sukarno sebenarnya adalah diksi 'meminta maaf kepada Bung Karno dan keluarganya' karena di antara publik di Indonesia ini bukan tidak tahu dan tidak cinta terhadap Bung Karno, tetapi justru menganggap Bung Karno itu sendiri kebanggaan nasional dan sudah bukan lagi hanya milik keluarganya. Bung Karno kebanggaan Bangsa Indonesia dan pemimpin dunia.

"Dalam konteks ini bisa juga permintaan maaf itu dialamatkan kepada Bangsa Indonesia (rakyat sebagai pemegang daulat negara) atau kepada dunia dan kemanusiaan dalam konteks kerja membangun peradaban luhur, dan tentu juga bisa minta maaf kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kan Indonesia negara yang berketuhanan meski bukan negara agama,” papar Janu.

Dalam lanskap budaya politik, menurut Janu, hal ini bisa saja menjadi tradisi bagus untuk mengurai konflik di masa lalu agar tidak selalu berujung membuat polarisasi baru. Misalnya dalam tradisi budaya ada pertaubatan bisa saja dibangun kerja peradaban baru politik dengan membuat tradisi baru permintaan maaf oleh negara diwakili pemerintah yang balutannya gerakan kultural merekonsiliasi (korektif) semacam pengakuan dosa negara diwakili pemerintah kepada Tuhan YME atas kesalahan kepada Bangsa Indonesia, kepada rakyat atau kepada pahlawan pendiri negara seperti Sukarno.

"Dalam khasanah tradisi kan biasa itu Raja mewakili kerajaan di Nusantara ini membuat semacam 'ruwatan agung' agar terhindar dari kuwalat telah berbuat salah di masa lalu misalnya," imbuhnya.

Polemik terkait usulan PDI Perjuangan agar negara minta maaf kepada Bung Karno dan keluarganya makin panas. Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond Junaidi Mahesa tiba-tiba digeruduk kader PDIP saat sedang makan siang di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Massa kader PDIP Purworejo itu tak terima dengan pernyataan Desmod yang dianggap menghina Bung Karno.

Politisi Gerindra itu pun bersedia meminta maaf. Namun, sebelumnya meminta maaf, Desmond memberikan klarifikasi jika kata-kata yang dianggap tidak pantas itu semata-mata bukan keluar dari mulutnya.

"Jadi kemarin itu saya diwawancarai tentang penghargaan Bung Karno. Saya menghargai penghargaan itu, tapi saya bilang bahwa penghargaan itu apakah tidak mengecilkan Bung Karno, tanpa penghargaan itu Indonesia inilah Bung Karno,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement