Kamis 10 Nov 2022 01:40 WIB

Pelabelan BPA Kemasan Kaleng Lebih Cocok Daripada AMDK

Penerapan label semua kemasan pangan perlu dilakukan tanpa terkecuali.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja melayani calon pembeli aneka jenis minuman kaleng di salah satu grosir penjual makanan dan minuman kemasan. ilustrasi
Foto: Antara/Rony Muharrman
Pekerja melayani calon pembeli aneka jenis minuman kaleng di salah satu grosir penjual makanan dan minuman kemasan. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Kontaminasi Bisfenol A (BPA) secara signifikan lebih tinggi pada kemasan kaleng daripada makanan non kaleng seperti makanan segar, makanan beku, dan kemasan plastik. Jika ingin melabeli berpotensi mengandung BPA lebih cocok kepada kemasan kaleng ketimbang kemasan air. 

Menurut Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (Unhas), Anwar Daud, jika berencana mau melabeli kemasan pangan, seharusnya semua kemasan itu harus dilabeli dengan menyatakan ini bebas  bahan berbahaya. 

Baca Juga

“Jangan ada diskriminatif kalau mau mengamankan kemasan pangan. Kalau mau dilabeli, ya semua harus dilabeli,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (9/11/2022).

Dia mengatakan penerapan label semua kemasan pangan tanpa terkecuali. Hal ini mengingat penelitian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)  menyatakan itu masih di bawah standar, tapi kalau khusus dari alasan kesehatan.

Dia juga tidak setuju dengan BPOM yang menyatakan pelabelan BPA tidak berlaku depot air minum isi ulang. Menurutnya, justru wadah-wadah air yang digunakan untuk mengisi air minum depot isi ulang itu patut dikhawatirkan karena bisa saja menggunakan wadah-wadah yang tidak berstandar. “Kalau masyarakat itu kan banyak yang lebih memilih murahnya saja. Jadi wadah-wadah yang digunakan juga kualitas KW 3,” katanya. 

Sebelumnya, pakar polimer  dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin juga mengatakan kemasan kaleng yang sudah rusak atau penyok tidak boleh dikonsumsi masyarakat. Hal itu disebabkan pecahnya lapisan epoksi yang melapisi logam pada kaleng kemasannya, sehingga mengakibatkan terjadinya migrasi BPA ke dalam produknya. 

“Jika itu terjadi, kemungkinan makanan atau minuman yang ada dalam kemasan itu bisa beracun,” ucapnya.

Dokter Spesialis Anak dan anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Irfan Dzakir Nugroho, SpA, M Biomed, mengatakan kandungan BPA bisa ditemukan pada produk-produk kebersihan, seperti pasta gigi, pipa suplai air bersih, dan produk tambal gigi. 

Pakar kimia dari Departemen Kimia Universitas Indonesia, Agustino Zulys, mengatakan BPOM perlu juga melakukan uji laboratorium terhadap paparan BPA yang ada dalam makanan kemasan kaleng seperti yang dilakukan terhadap kemasan plastik berbahan PC. Hal itu karena sudah ada penelitian yang dipublikasikan oleh Environmental Research yang menunjukkan bahwa mengkonsumsi makanan kaleng berhubungan dengan tingginya konsentrasi BPA dalam urin.

Pakar Teknologi Pangan IPB, Aziz Boing Sitanggang, mengatakan kecenderungan BPA bermigrasi  dari kalengnya ke produknya bisa berpotensi lebih besar dan bisa lebih kecil. “Tapi, seberapa besar pelepasan BPA-nya kita tidak tahu. Karena di Indonesia belum ada studi untuk meng-compare langsung dan itu perlu dikaji lagi lebih jauh,” tuturnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement