REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Nurcahyo Utomo memaparkan hasil investigasi atas kecelakaan pesawat Sriwijaya Air dengan kode penerbangan SJ-182. Pesawat berjenis Boeing 737 itu lepas landas dari Pontianak menuju Jakarta pada 9 Januari 2021.
Setelah terbang sekira 13 menit, pesawat mengalami kecelakaan dan berakhir di perairan Kepulauan Seribu. Dalam penerbangan tersebut, auto-throttle tidak bisa menggerakkan thrust lever yang kanan.
Jelang ketinggian 11 ribu kaki, pesawat yang tadinya sedang berbelok ke kanan karena perubahan posisi thrust lever sebelah kiri, menghasilkan tenaga mesin yang makin berkurang. Akhirnya, pesawat menjadi datar, tidak bergerak, tidak berbelok, yang akhirnya berbelok ke kiri.
Perubahan tersebut tidak disadari oleh pilot, yang diasumsikan oleh KNKT bahwa pilot sudah percaya dengan sistem otomatisasi pesawat tersebut. Dalam kondisi kemudi miring ke kanan, sementara pesawat miring ke kiri, membuat terjadinya peringatan kemiringan berlebihan dari 35 derajat.
"Perubahan ini tidak disadari pilot. Kami kebetulan dari kokpit voice recorder, kami temukan suara kapten tidak terekam. Kami tidak bisa tentukan kenapa suara kapten tidak terekam, tapi ada dugaan kapten tidak bisa menggunakan headset," ujar Nurcahyo dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR, Kamis (3/11).
Meski thrust lever sebelah kanan tidak bergerak, Boeing 737 dilengkapi dengan sistem Cruise Thrust Split Monitor (CTSM). Sistem itu bisa menonaktifkan auto-throttle jika terjadi asimetri, untuk mencegah perbedaan tenaga mesin lebih besar.
Auto-throttle nonaktif 30 detik saat mencapai ketinggian tersebut, yang berasal dari fungsi sistem CTSM. Keterlambatan fungsi CTSM ini diyakini karena informasi dari flight spoiler yang memberikan nilai sudut pembukaan yang lebih tinggi atau rendah dari seharusnya.
"Sehingga komputer memberikan sensor yang berbeda dan informasi sudut ini diyakini penyetelan atau rigging dari flight spoiler," ujar Nurcahyo.