Kamis 03 Nov 2022 01:37 WIB

Pertemuan G20 Harus Munculkan Kesepakatan Ketersediaan Pangan

Pertemuan G20 di Bali dinilai perlu munculkan kesepakatan ketersediaan pangan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bayu Hermawan
Krisis Pangan (ilustrasi)
Foto: setkab.go.id
Krisis Pangan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia perlu memperkuat fungsi kerjasama bilateral dengan negara-negara tetangga. Hal ini penting guna menjaga ketersediaan pangan nasional di balik ancaman krisis pangan global.

Hal tersebut disampaikan oleh dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Ronnie S Natawidjaja. Ronnie menilai pertemuan G20 di Bali pada 15-16 Nopember mendatang harus bisa melahirkan kesepakatan-kesepakatan strategis dalam menjaga ketersediaan pangan.

Baca Juga

"Kesepakatan antarnegara harus dibuat untuk mengantisipasi krisis pangan ke depan. Fungsi kerja sama bilateral harus ditingkatkan lagi," kata Ronnie kepada wartawan, Rabu (2/11).

Berbeda dari Ronnie, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menekankan pentingnya kolaborasi global untuk mengatasi krisis pangan yang kini mengancam banyak negara di dunia. Kolaborasi memungkinkan memitigasi dan mengatasi triple krisis: krisis energi, pangan, dan keuangan.

Syahrul menjelaskan, sebagai bagian dari komunitas global, G20 berkomitmen mendukung peran krusial dari sektor pertanian dalam menyediakan pangan dan gizi bagi semua orang. Hal ini juga menjamin pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. 

Dalam berbagai kesempatan, Syahrul berulangkali menegaskan bahwa kunci mengatasi krisis pangan global adalah kebersamaan. "Tidak boleh ada negara yang terlewatkan dan tertinggal, kolaborasi adalah kunci untuk mengatasi tantangan saat ini dan di masa datang," ujar Syahrul.

Ronnie menjelaskan, kerja sama bilateral itu bisa diwujudkan dalam sistem barter. Bentuknya masing-masing negara memberikan yang terbaik yang dimiliki.

"Misal, Indonesia banyak produksi buah, lalu Australia banyak memproduksi gandum. Ini bisa saling tukar, barter. Jadi, stok (pangan) aman, dan harga pun bisa dikontrol," ungkap Ronnie.

Ronnie menyatakan Indonesia tak perlu memaksakan diri untuk menghasilkan komoditas tertentu yang memang tidak bisa diproduksi secara maksimal. Sebaliknya, Indonesia mesti meningkatkan potensi yang ada untuk kemudian dijadikan komoditas unggulan.

Ronnie mencontohkan komoditas kedelai. Dikatakannya, faktor geografis, yaitu penyinaran matahari, membuat produksi kedelai nasional tidak mampu mengimbangi produksi kedelai dari China.

"Kedelai kita itu wangi dan bulirnya besar. Tapi butuh penyinaran yang lama. Penyinaran bisa dibantu oleh penggunaan lampu di green house, tapi dijualnya jadi mahal nanti. Sudah kita pakai kedelai dari China, lalu kita kasih apa yang China butuhkan yang ada di kita. Itu namanya memaksimalkan potensi kerja sama bilateral," ujar Ronnie.

Ronnie juga mencontohkan komoditas gandum yang bisa diperoleh dari Australia. Hal ini menyusul krisis yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, pasokan gandum ke Indonesia menjadi terhambat.

"Harganya pun naik 35 persen. Dan sepertinya akan naik lagi. Kita bisa minta Australia untuk support kebutuhan gandum kita," ucap Ronnie. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement