REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global Dicky Budiman mengingatkan sebenarnya acara (event) berskala besar bisa digelar saat pandemi Covid-19. Namun, untuk mencegah kasusnya berakhir seperti di Itaewon, Korea Selatan, maka sebelumnya diperlukan analisa risiko hingga mitigasi acara.
"Dalam event besar atau kejadian yang melibatkan banyak orang yang disebut dengan large social event harus ada analisa risiko dari kegiatan ini. Organisasi Kesehatan Dunia PPB (WHO) sebenarnya sudah punya pedoman yang harus dilakukan," ujarnya saat dihubungi Republika, Rabu (2/11/2022).
Jadi, dia melanjutkan, tragedi Itaeowon di negara maju seperti Korea Selatan adalah bentuk kecolongan dan ini adalah kesalahan. Dicky memperkirakan para peserta atau seniman yang memberikan pertunjukan juga kemungkinan besar adalah para penyintas Covid-19, terlebih jika pernah terinfeksi lebih dari dua kali dan memiliki penyakit penyerta.
Artinya orang-orang yang kemungkinan mengalami penurunan kondisi tubuh hingga 20 persen, baik fungsi paru-paru, jantung dan yang menempatkan mereka dalam risiko tinggi. Jadi, dia menambahkan, kejadian di Itaewon dan di Indonesia seperti Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, tidak bisa dilepaskan dari kondisi peserta atau penikmat pertunjukan itu yang mungkin sudah tidak seperti sebelumnya yang mulai terganggu.
"Ini yang menyebabkan potensi lahirnya insiden kesulitan bernapas, kondisi begitu padat hingga mengalami serangan jantung," katanya.
Ia menjelaskan, saat akan menggelar acara seperti ibadah umrah atau haji bahkan pertandingan bola memang memerlukan satu analisa risiko yang meliputi banyak aspek. Kemudian sekarang juga masih dalam situasi pandemi Covid-19, artinya meski bisa mengadakan acara, kapasitas, masker, diupayakan semaksimal mungkin di luar ruangan. "Ini menjadi syarat yang dijadikan acuan," katanya.
Contohnya ia pernah memberikan analisa ketika Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah saat pandemi. Saat itu Dicky mengatakan risikonya besar dan bisa menimbulkan lonjakan kasus Covid-19 dan kekhawatirannya terbukti. "Artinya secara tools sudah ada mekanismenya namun seringkali diabaikan," katanya.
Jadi, Dicky meminta ini yang harus menjadi pemahaman penyelenggara dan pemberi izin ada atau tidak mitigasinya, bagaimana kesiapannya, antisipasinya. Bahkan cukup tidak tenaga kesehatannya, kalau ada kasus bagaimana jalur evakuasinya, apakah ada kriteria tertentu supaya orang yang sakit jangan menonton atau menjadi pengunjung.
Meski event-event bisa dilakukan sebagai tahap pemulihan pandemi kemudian melakukan aktivitas ini tetapi tetap harus pastikan mitigasinya, atau konsistensi dan penegakan hukumnya. "Aturan ini harus ditekankan," ujarnya.
Tak hanya itu, Dicky juga meminta calon pengunjung alias para penikmat mengukur diri menghitung risiko masing-masing. Kalau berjalan sedikit jalan saja sudah sesak napas maka jangan dipaksakan dan pilih opsi lebih aman untuk bisa melakukannya, kemudian mengukur penyelenggaranya profesional alias bonafide, manajemen risiko sudah baik, hingga mengukur jalan evakuasinya.
"Kemudian untuk yang ingin menonton juga jalankan protokol kesehatan. Ini harus dijalankan dengan baik," ujarnya. Sayangnya, dia melanjutkan, analisa risiko ini masih menjadi kelemahan di Indonesia.