Ahad 30 Oct 2022 11:46 WIB

Pensiun Dini PLTU, Kejar Target Tapi Terkendala Dana Jumbo

Beban keuangan untuk menghentikan aktivitas ini terbilang cukup besar.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang di Desa Taman Ayu, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, NTB, Jumat (27/8/2021).
Foto: ANTARA/Ahmad Subaidi
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang di Desa Taman Ayu, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, NTB, Jumat (27/8/2021).

Oleh : Ichsan Emrald Alamsyah, Redaktur Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Dirut PLN Darmawan Prasodjo, sepekan lalu, mengungkapkan rencana besar untuk menghentikan aktivitas sebagian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Langkah yang disebut pensiun dini atau early retirement PLTU disebut sebagai langkah untuk mendukung target nol emisi di 2060.

Mekanismenya, ucap Darmawan, di ajang SOE International Conference yang dikutip penulis, telah disiapkan sejak 2021 lewat peta jalan untuk mencapai NZE (net zero emission) pada tahun 2060. Berdasar peta jalan tersebut, rencananya percepatan retirement PLTU sebesar 3,5 GW dapat dilakukan sebelum 2040, untuk PLTU dengan teknologi subcritical.

Akan tetapi, percepatan pensiun dini dapat dilakukan ketika kapasitas Energi Baru Terbarukan pengganti sudah operasional. Syarat lainnya adalah aspek transisi terpenuhi, tidak menyebabkan peningkatan beban keuangan yang memberatkan pemerintah, dan adanya bantuan pendanaan dari komunitas internasional.

Nah persoalan beban keuangan untuk menghentikan aktivitas ini terbilang cukup besar. Sekira Juni 2022 lalu, Direktur Perencanaan Korporat PT PLN Evy Haryadi menyebut diproyeksikan membutuhkan dukungan dana mencapai 6 miliar dolar AS atau setara Rp 87,3 triliun.

Sedangkan, secara keseluruhan Kementerian BUMN sebenarnya telah berinisiatif meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM) sebagai salah satu strategi pembiayaan untuk memensiunkan PLTU ini.

Sementara itu, PLN sendiri tidak tinggal diam, karena BUMN 'Setrum' itu berupaya mencari pendanaan baik lembaga internasional ataupun kerja sama sesama BUMN. Seperti kerja sama PT Bukit Asam dengan PLN untuk pengambilalihan PLTU Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.

Dengan adanya program pengakhiran lebih awal, masa operasional PLTU Pelabuhan Ratu akan terpangkas dari 24 tahun menjadi 15 tahun. Penurunan masa operasional tersebut akan dibarengi oleh potensi pemangkasan emisi karbondioksida (CO2) ekuivalen sebesar 51 juta ton atau setara Rp 220 miliar.

Sementara untuk kerja sama ini didasari oleh beberapa pertimbangan strategis. PLTU Pelabuhan Ratu merupakan tulang punggung pasokan listrik di wilayah bagian selatan Pulau Jawa.

Berdasarkan lokasi geografis, tata kelola PLTU Pelabuhan Ratu relatif lebih mudah diintegrasikan dengan sistem rantai pasok PTBA. Kebutuhan batu bara PLTU Pelabuhan Ratu sebanyak 4,5 juta ton per tahun atau 67,5 juta ton selama 15 tahun. Hal tersebut selaras dengan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) untuk pemanfaatan cadangan batu bara PTBA.

Dengan teknologi dan sistem pendukung terbaik, PLTU ini mampu memberi jaminan keandalan optimal. Kinerja PLTU efisien, sehingga berpotensi meningkatkan nilai tambah dari nilai keekonomian batu bara sebagai bahan baku. Potensi tambahan pendapatan dari penjualan listrik sebesar Rp 6 triliun per tahun.

Sebelumnya, PLN juga telah menjalin kerja sama Asia Development Bank (ADB) melalui skema Energy Transition Mechanism (ETM). ETM hadir sebagai salah satu strategi pembiayaan untuk memensiunkan PLTU lebih awal.

Director Energy Division Southeast Asia Departement ADB, Toru Kubo menjelaskan, melalui mekanisme pembiayaan ETM ini maka Indonesia bisa mendapatkan tambahan dana untuk bisa mengakselerasi proyek dekarbonisasi."Kami sudah berbicara dengan pemerintah tentang ETM ini sejak Februari tahun lalu di mana ini bisa menjadi kunci percepatan proyek transisi energi di Indonesia," ujar Toru.

Toru menjelaskan, jika berbicara transisi energi tidak hanya terkait proyek kelistrikan saja, meski memang proyek kelistrikan yang dilakukan Pemerintah Indonesia saat ini menjadi proyek unggulan dalam ETM. Kata Toru, melalui gerak aktif ADB dan pemerintah Indonesia, isu soal transisi energi bisa menjamur di masyarakat. Ia juga sepakat bahwa dalam menuju lingkungan dan iklim yang lebih baik membutuhkan keterlibatan masyarakat.

Selain ADB, perusahaan perusahaan data dan web services terbesar di dunia asal Amerika, Amazon Web Services Inc mengaku tertarik berinvestasi sektor energi terbarukan Indonesia. Investasi di Indonesia sejalan dengan rencana perusahaan untuk bisa menjadi industri yang berbasis energi bersih.

APAC Head of Energy & Environment Policy Amazon Web Services Ken Haig juga menjelaskan saat ini Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi pengembangan EBT yang besar. Apalagi, menurut Ken Haig, Indonesia saat ini memiliki instrumen investasi yang memungkinkan keterlibatan sektor privat untuk ikut berinvestasi dalam mempercepat terwujudnya energi bersih.

"Ini adalah kesempatan yang luar biasa, meski memang ada beberapa kebijakan dan regulasi yang perlu dikembangkan sehingga memudahkan investasi masuk," ujar Ken Haig.

Jangan hanya gimmick

Program pensiun dini PLTU yang menggunakan bahan bakar batu bara, merupakan bagian dari komitmen Indonesia mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060 dan transisi energi berkelanjutan melalui penetapan target bauran energi dari Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025. Tidak hanya early retirement PLTU, program kendaraan listrik dan Energi Baru Terbarukan jadi kunci netralitas karbon di Indonesia. Program ini makin digembar-gemborkan menjelang dan selama Presidensi G20 di Indonesia.

Harapannya memang selain memperkenalkan program green economy Indonesia, juga 'mengetuk hati' lembaga internasional untuk menyuntikkan dana bagi Indonesia. Selain itu juga mendorong investasi pengembangan EBT untuk mendorong transisi energi.

Sayangnya, program transisi energi ini tidak diikuti implementasi pajak karbon. Pemerintah resmi telah menunda implementasi pajak karbon dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan aturan tersebut akan benar-benar dijalankan pada 2025.

Pajak karbon adalah instrumen penetapan harga karbon yang menjadi bagian dari paket kebijakan komprehensif untuk mitigasi perubahan iklim dan telah disahkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan mulai 1 April 2022. UU Harmonisasi Perpajakan mengamanatkan tarif pajak karbon paling rendah adalah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen.

Sayang benar memang menurut penulis, walaupun sudah wajib dijalankan per 1 April ini malah tidak dijalankan. Padahal dibandingkan program lain yang membutuhkan dana besar, pajak karbon justru mendatangkan keuntungan bagi negara. Pemerintah beralasan penerapan pajak karbon di Indonesia untuk sementara ditunda karena ketidakpastian ekonomi global yang sedang berlangsung.

Oleh karena itu, penulis berharap program pensiun dini ini benar-benar dijalankan hingga tuntas, tidak kemudian hari pupus di tengah jalan karena ketiadaan dana. Atau hanya sekadar gimmick karena sedang menggelar ajang internasional besar yang datang 20 tahun sekali.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement