Senin 17 Oct 2022 17:14 WIB

Komnas Perempuan Minta Proses Hukum Kasus KDRT Rizky Billar Dilanjutkan

Polisi diharap tidak menggunakan keadilan restoratif di kasus KDRT.

Pasangan artis Rizky Billar dan Lesti Kejora.
Foto: Instagram Lesti Kejora
Pasangan artis Rizky Billar dan Lesti Kejora.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani meminta Polri untuk melanjutkan proses hukum kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan tersangka Rizky Billar (RB) meskipun korban penyanyi Lesti Kejora (LK) telah mencabut laporannya. Menurutnya, pencabutan pelaporan tidak serta merta menghentikan proses hukum.

"Komnas Perempuan mendukung langkah kepolisian, khususnya Polres Jakarta Selatan untuk tetap melanjutkan proses hukum dalam penanganan kasus LK dengan maksud untuk memastikan kejadian serupa tidak berulang di kemudian hari," kata Andy Yentriyani, Senin (17/10/2022).

Baca Juga

"Pihak pelaku KDRT ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU Penghapusan KDRT yang termasuk dalam kategori delik biasa. Bukan delik aduan," katanya.

Komnas Perempuan juga meminta kepolisian dan masyarakat agar waspada dengan adanya potensi siklus kekerasan dalam kasus KDRT. Andy menjelaskan bahwa dalam siklus kekerasan, korban dan pelaku akan terus berputar dari kondisi tanpa kekerasan, kondisi ketegangan, kondisi ledakan kekerasan, dan kondisi rekonsiliasi.

"Namun dari waktu ke waktu, ledakan kekerasan dapat menjadi lebih intensif dan dapat menjadi sangat fatal dengan mengakibatkan luka yang serius hingga meninggal dunia," katanya.

Pihaknya meminta kepolisian tidak melakukan pendekatan keadilan restoratif karena dapat membuka celah impunitas pelaku dan meneguhkan siklus KDRT. Hal tersebut karena pasal yang disangkakan terhadap pelaku tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ringan.

"Pasal 44 ayat (1) UU Penghapusan KDRT menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp15 juta," kata Andy Yentriyani.

Selain itu, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif belum memuat penanganan khusus dalam kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk KDRT. "Perkapolri ini hanya memuat langkah pelaku untuk permohonan maaf dan penggantian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tanpa disertai dengan pengaturan mengenai langkah-langkah lanjutan yang wajib dilakukan oleh pelaku agar memastikan kejadian serupa tidak berulang," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement