REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Sosiolog dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Tri Wuryaningsih mengatakan komitmen bersama dibutuhkan untuk mencegah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang cenderung meningkat sejak terjadi pandemi Covid-19.
"Memang salah satu penyebab KDRT itu persoalan ekonomi. Artinya, sejak pandemi dua tahun terakhir itu kondisi ekonomi memang belum stabil, banyak yang kemudian di-PHK, sulit mendapatkan pekerjaan," kata Tri di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Selasa.
Menurut dia, hal itu menjadi salah satu faktor yang kemudian menimbulkan konflik dalam keluarga, karena orang yang tidak bekerja namun dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan keluarga akan stres dan akhirnya menimbulkan pertengkaran atau konflik dalam keluarga yang biasanya diikuti dengan KDRT.
Lebih lanjut, perempuan yang akrab disapa Triwur itu mengatakan KDRT sebetulnya bukan hanya kekerasan fisik, juga psikis seperti hina-menghina dalam keluarga, kekerasan seksual dan penelantaran ekonomi.
Menurut dia, Banyumas merupakan salah satu kabupaten penyumbang tertinggi di Jawa Tengah untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang di dalamnya adalah KDRT.
"Saya kira kalau menurut angka saja seperti itu, apalagi yang tidak terlaporkan. Saya selalu mengatakan kekerasan (KDRT) itu fenomena gunung es," kata Ketua Forum Komunikasi Pengarusutamaan Gender Kabupaten Banyumas itu.
Dalam hal ini, kata dia, tidak semua kasus KDRT terlaporkan hingga tampak di permukaan tapi mungkin banyak yang tidak dilaporkan. Dia mengatakan dalam siklus KDRT biasanya setelah melakukan kekerasan akan meminta maaf, hubungan kembali baik, kemudian muncul kekerasan lagi, dan terus berputar seperti itu.
"Saya yakin, kekerasan yang tampak itu lebih kecil dibandingkan dengan apa yang sesungguhnya ada di lapangan, namun tidak semua keluarga mau melaporkan karena kadang-kadang menganggap persoalan itu masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan," tegasnya.
Terkait dengan kasus KDRT di Banyumas, Triwur mengatakan berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Banyumas, pada tahun 2021 tercatat sebanyak 46 kasus KDRT yang terlaporkan, terdiri atas 24 kasus kekerasan terhadap anak dan 22 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sementara pada periode Januari-September 2022, kata dia, tercatat sebanyak 23 kasus KDRT.
"Sebelum pandemi (jumlah kasus yang dilaporkan) kelihatannya lebih kecil. Secara nasional pun begitu, kasus kekerasan meningkat seiring dengan pandemi," kata dia yang pernah menjabat sebagai Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA) Kabupaten Banyumas sebelum UPTD PPA Kabupaten Banyumas terbentuk pada akhir tahun 2020.
Lebih lanjut, Triwur mengatakan upaya pencegahan KDRT membutuhkan komitmen semua pihak dari berbagai elemen, tidak hanya dibebankan kepada pemerintah juga harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat. Bahkan, kata dia, pemerintah di tingkat desa hingga level RT pun perlu menggiatkan kampanye anti-KDRT.
"Termasuk teman-teman media, punya ruang yang strategis untuk bisa terus mengampanyekan antikekerasan," kata Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.
Dia mengaku pernah melakukan penelitian terkait dengan peran Kantor Urusan Agama (KUA). Dalam hal ini, salah satu tugas dan fungsi KUA adalah memberikan layanan bimbingan keluarga sakinah.
Menurut dia, keluarga sakinah dapat diartikan sebagai keluarga yang bebas dari konflik atau tidak ada KDRT. "KUA ini kan garda terdepan di dalam menyiapkan keluarga-keluarga yang kuat, karena mereka harus memberikan pembekalan untuk calon pengantin atau pasangan suami-istri," katanya.
Dengan demikian, kata dia, KUA memiliki peran strategis dalam upaya pencegahan KDRT, sehingga pasangan-pasangan itu benar-benar siap menjalani bahtera rumah tangga yang bebas dari konflik.
Akan tetapi saat pandemi, lanjut dia, peran tersebut tidak dapat dilaksanakan secara maksimal karena adanya pembatasan terkait dengan protokol kesehatan, sehingga perlu penguatan-penguatan KUA untuk menyiapkan keluarga-keluarga yang tangguh.
"Karena sebetulnya Indonesia itu sedang menghadapi krisis ketahanan keluarga. Tingginya angka perceraian itu menunjukkan krisis ketahanan keluarga dan selama pandemi juga diikuti dengan tingginya angka perceraian," kata Triwur.