Kamis 06 Oct 2022 15:03 WIB

Penggunaan Gas Air Mata Kerap Dikritik, Tapi Aparat Selalu Berdalih Itu Diskresi

PBHI ada komando mengapa aparat serentak menembakkan gas air mata ke penonton.

Aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk ke lapangan usai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu malam (1/10/2022). Polda Jatim mencatat jumlah korban jiwa dalam kerusuhan tersebut sementara sebanyak 127 orang.
Foto: ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk ke lapangan usai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu malam (1/10/2022). Polda Jatim mencatat jumlah korban jiwa dalam kerusuhan tersebut sementara sebanyak 127 orang.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Haura Hafizhah, Dessy Suciati Saputri, Antara

Pendekatan pengamanan yang digunakan oleh aparat dalam menjaga kondusivitas di dalam stadion sepak bola dikritik. Akibat pendekatan yang salah, terjadilah tragedi stadion Kanjuruhan di Malang pada akhir pekan lalu. 

Baca Juga

"Pendekatan pengamanan harusnya bukan pendekatan keamanan dalam negeri sehingga melibatkan tentara dan polisi menggunakan senjata yang melumpuhkan. Dari awal sudah salah," kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani dalam konferensi pers virtual yang diadakan YLBHI pada Rabu (5/10/2022). 

Julius mengungkapkan, kritik elemen masyarakat sipil terhadap penggunaan gas air mata dalam pengamanan pertandingan sepak bola bukan kali ini saja. Namun, kritik itu menguap begitu saja dengan dalih diskresi aparat di lokasi. 

"Ribut soal prosedur gas air mata sudah ke sekian kali, ini masuk ke ruang diskresi bagi orang yang mengalaminya (aparat di lapangan)," ujar Julius. 

Julius menyatakan, potensi bentrokan yang menimbulkan kematian sebenarnya sangat sulit terjadi dalam laga Sabtu lalu itu. Sebab yang hadir di stadion hanya Aremania. Sehingga ia menyalahkan prosedur keamanan di lapangan yang menyebabkan jatuh korban ratusan orang. 

"Pendekatan keamanan dalam negeri itu untuk tangani kericuhan masyarakat. Ketika masuk ke stadion pakai metode militer dengan cara menyerang segala bentuk upaya tanpa pertimbangan apa pun," ucap Julius. 

Julius mengkritisi langkah penembakan gas air mata dilakukan tanpa adanya upaya peringatan dan imbauan lebih dulu. 

"Kenapa gas air mata dilontarkan ke tribun penonton, sebelum tembakan itu apa sudah ada tahapan? Massa kenapa nggak digiring keluar perlahan, kenapa nggak peringatan dulu layaknya demo buruh saat Mayday. Ini malah langsung tembak," ujar Julius. 

Atas dasar itu, Julius menduga tembakan gas air mata sengaja dilepaskan untuk melukai Aremania. Apalagi sebagian tembakan, lanjut Julius, diarahkan ke tubuh Aremania. 

"Jelas tujuan bukan untuk melumpuhkan tapi melukai. Ada unsur kesengajaan. Ketika dilakukan masif nggak cuma di satu titik mengarah ke penonton berarti ada unsur kesengajaan yang dikomandoi. Mereka nggak saling komunikasi tapi serentak mengarahkan ke tribun. Ini ada unsur komando," ungkap Julius. 

Berbicara terpisag, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf juga menyayangkan penggunaan gas air mata pada pertandingan di Stadion Kanjuruhan. Padahal sudah sejak lama FIFA melarang penggunaan gas air mata itu di arena pertandingan karena dampaknya bukan cuma menghalau tapi juga membuat sesak napas. 

“Mengapa aparat menggunakan kekerasan yang begitu represif? bahkan menggunakan gas air mata,” katanya pada Rabu (5/10/2022).

Kemudian, ia melanjutkan terjadi berbagai tindakan represif aparat dalam kejadian yang menewaskan lebih dari 125 orang tersebut. Ini adalah sebuah bencana bagi dunia olahraga. 

"Banyak orang tua kehilangan anaknya, anak-anak kehilangan orang tuanya dan tidak sedikit korban jiwa datang dari generasi muda harapan bangsa,” kata dia.

Dede pun mempertanyakan tindakan yang dilakukan aparat. Menurut Dede, harus ada pertanggungjawaban dari pemangku kepentingan terkait. Khususnya, kata Dede, pihak-pihak yang terlibat pada penyelenggaraan pertandingan tersebut.

“Kita tidak boleh selesai hanya sampai dukacita. Harus ada yang tanggung jawab. Panitia pelaksana, PSSI, lantas aparat atas tindakan represifnya hingga sampai seperti itu,” kata dia.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement