REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan POM (BPOM), Penny K Lukito menegaskan, pihaknya tidak turut mengawasi minuman manis cepat saji. Pengawasan terhadap pemberian informasi kandungan gula, garam, lemak (GGL), serta pesan kesehatan PSS dilakukan oleh Dinkes Provinsi/Dinkes Kab/Kota.
"Kami BPOM hanya meregulasi memonitor industri dalam kemasan. Kalau yang pelayanan langsung, minuman siap saji bukan pengawasan BPOM," kata Penny di Jakarta, Jumat (30/9/2022).
Secara umum, setiap produk makanan dan minuman wajib mencantumkan informasi gizi secara lengkap, termasuk kandungan gula, garam, maupun lemak. Untuk minuman siap saji, baik produk industri kemasan, UMKM ataupun industri rumah tangga BPOM hanya membina dan memberi peringatan ke Dinkes.
Sejauh ini Badan POM terus mendorong agar produsen makanan dan minuman mencantumkan informasi gizi dalam kemasan. "Karena produk-produk badan POM semua ada nilai gizinya kan. Harus dicantumkan, terutama gula, garam, dan lemak. Penting sekali," kata dia.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan, Dr Eva Susanti mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah punya banyak regulasi yang mengatur soal minuman berpemanis. Tak hanya aturan, pemerintah juga melakukan banyak upaya edukasi dan pencegahan soal bahaya diabetes.
Menurut Eva, upaya-upaya ini masih perlu dioptimalisasikan dengan kebijakan lain yang mendukung pelaku usaha melakukan reformulasi produk serta kebijakan untuk mendukung penyediaan lingkungan sehat di sekolah, tempat kerja, dan ruang publik lainnya. “Kita juga ingin menetapkan kebijakan fiskal pada minuman dan makanan yang tinggi gula, garam, dan lemak (GGL),” kata Eva.
Pada 2018, sebanyak 21,8 persen penduduk Indonesia mengalami obesitas yang merupakan faktor risiko penyakit tidak menular seperti diabetes. Jumlah ini berpotensi terus meningkat mengingat Indonesia menempati posisi ketiga di Asia Tenggara sebagai negara dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tertinggi. Tercatat, dalam 20 tahun terakhir konsumsi MBDK di Indonesia terus naik hingga mencapai 15 kali lipat.