REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pangan Nasional (NFA) mendorong masyarakat untuk dapat meningkatkan konsumsi telur ayam demi memenuhi gizi seimbang sekaligus pencegahan stunting. Kepala NFA, Arief Prasetyo Adi, mengatakan, ketahanan pangan dan gizi selalu menjadi isu strategis nasional, karena pemenuhan pangan merupakan hak setiap warga negara yang harus dijamin kuantitas dan kualitasnya, aman dan bergizi untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang sehat, cerdas, aktif dan produktif.
"Saat kami ini tengah fokus menguatkan ekosistem pangan yang terintegrasi dari hulu hingga hilir, termasuk di dalamnya pengentasan daerah rawan pangan, stunting, dan penganekaragaman konsumsi pangan," katanya dalam keterangan resmi diterima Republika.co.id, Senin (26/9/20202).
Berdasarkan skor Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2021, kualitas konsumsi pangan penduduk Indonesia masih belum beragam dan bergizi seimbang di mana masih tingginya konsumsi padi-padian, minyak, dan lemak serta kurangnya konsumsi pangan hewani, sayur, buah, serta umbi-umbian. Salah satu sumber protein hewani yang mudah didapat dan relatif murah adalah telur, kandungan nutrisi telur begitu lengkap baik makro maupun mikronutrien.
Namun, tingkat konsumsi telur Indonesia masih 7,5 kg/kapita/tahun. Jika dibandingkan negara lain, konsumsi telur per kapita Indonesia masuk urutan ke-15 dunia. "Tentu upaya peningkatan konsumsi telur perlu terus dilakukan melalui gerakan gemar makan telur seperti hari ini. Kita sosialisasikan tagline Makan Enak Makan Sehat Makan B2SA, yaitu Beragam, Bergizi Seimbang, dan Aman," ungkap Arief.
Arief mengatakan, melalui adanya gerakan gemar makan telur tidak hanya menyehatkan masyarakat Indonesia, namun juga dapat menjadi salah satu upaya pencegahan stunting.
Sebab, telur dengan segudang kandungan nutrisinya dapat menjadi asupan pangan tambahan yang efektif bagi ibu hamil, ibu menyusui, dan balita agar anak-anak Indonesia terhindar dari stunting.
Seperti diketahui, angka prevalensi stunting Indonesia tahun 2021 masih 24,4 persen sementara standar WHO sebesar 20 persen sehingga Indonesia masuk kategori masalah stunting yang tinggi.
Arief mengatakan, pemerintah sangat memperhatikan persoalan stunting. Bahkan, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar 2024 mendatang, angka stunting bisa di bawah 14 persen.
"Tentu, perlu kerja keras dan keterlibatan semua pihak baik pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat agar prevalensi stunting terus menurun seperti yang ditargetkan," katanya.