Sabtu 17 Sep 2022 20:53 WIB

Curahan Hati Juventini

Saat hati ini tak lagi merasakan sensasi frustasi ketika Juve kalah.

Giorgio Chiellini dari Juventus, kiri, bereaksi setelah pertandingan sepak bola final Piala Italia antara Juventus dan Inter Milan di Stadio Olimpico di Roma, Italia, Rabu, 11 Mei 2022.
Foto: AP/Alessandra Tarantino
Giorgio Chiellini dari Juventus, kiri, bereaksi setelah pertandingan sepak bola final Piala Italia antara Juventus dan Inter Milan di Stadio Olimpico di Roma, Italia, Rabu, 11 Mei 2022.

Oleh : Abdullah Sammy, Wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Pekan ini boleh jadi merupakan pekan paling sulit bagi pendukung Juventus. Setelah dibuat sakit hati akibat hasil melawan Salernitana di Seri A, Juve babak belur dipermainkan Benfica di Liga Champions. Di kandang sendiri pula.

Praktis sebagai Juventini sejak 1996, saya merasakan fase ini jadi salah satu yang terburuk. Parameternya bukan sekadar urusan teknis tapi soal perasaan yang intangible. Saat hati ini tak lagi merasakan sensasi frustasi ketika Juve kalah, maka saat itulah saya mengetahui bahwa inilah fase terburuk. Sebab tak ada lagi banyak ekspektasi.

Kekalahan Juve dari tim lain jadi begitu bisa dirasakan sebelum dimulainya pertandingan. Mungkin rasa ini jadi cerminan hati banyak Juventini di dunia. Namun dalam tulisan ini saya mencoba mengambil jarak dari sisi emosi dalam menilai apa yang sebenarnya terjadi. Saya ingin memulainya dari quote seorang eks pemain Juventus berstatus Lord yang kini banting setir jadi TKI (Tenaga Kerja Italia) di Amerika.

"Juventus kurang dalam hal kesinambungan. Mereka berganti terlalu banyak pelatih karena itu kehilangan identitas."

Begitu pernyataan Lord Bernardeschi mengomentari keadaan Juventus saat ini. Federico Bernardeschi yang kini merumput di MLS bersama Toronto FC boleh menjadi olok-olok atau lelucon bagi sebagian Juventini. Namun pernyataannya soal keadaan Juve sama sekali bukan lelucon.

Terlalu banyak berubah pelatih dan kehilangan identitas adalah narasi yang sangat rasional untuk mengulas bagaimana klub sepak bola besar dapat terpuruk dalam jangka waktu tertentu. Kedua hal itu bisa dibedah secara ilmiah dalam pendekatan ilmu manajemen.

Saya ingin memulainya dengan sebuah tesis yang disampaikan Alfred Chandler pada 1962. Inilah salah satu magnum opus dalam ilmu manajemen kontemporer yang menggariskan pandangan strategy follow the structure. Pandangan Chandler menggarisbawahi pada kepentingan sebuah organisasi untuk menyesuaikan struktur mereka berdasarkan strategi perusahaan.

Walhasil struktur bisa dibongkar pasang setiap waktu mengikuti strategi apa yang dijalankan perusahaan. Dalam konteks sepak bola, pandangan Chandler ini kerap dipakai oleh tim-tim yang punya mimpi untuk dengan cepat mendisrupsi kemapanan tim besar. Perubahan strategi secara dramatis kerap membuat tim mengubah struktur tim secara radikal pula.

Simak saja apa yang dilakukan Chelsea dan Manchester City pada medio 2000-an serta Newcastle pada musim lalu. Perubahan strategi tim yang secara drastis akibat masuknya investor besar diikuti dengan perubahan struktur tim yang begitu masif pula.

Chelsea di awal kedatangan seorang Roman Abramovich nyaris memborong satu skuat baru dalam semusim. Pun halnya City yang merombak tim gila-gilaan begitu diguyur fulus dari Timur Tengah. Kini, giliran Newcastle yang memakai strategi serupa via fulus dari "Paman Wahabi".

Sejatinya konsep structure follow strategy juga jamak dipakai tim yang sedang terpuruk atau tim kecil yang baru promosi. Mereka umumnya membongkar struktur tim mulai dari pemain hingga pelatih guna mendapat hasil yang jauh lebih baik dengan waktu cepat.

Walhasil dalam konsep structure follow strategy ini organisasi jadi bergerak begitu organik. Mereka cenderung leluasa untuk bereksperimen, berinovasi, dan berani ambil risiko demi hasil yang jauh lebih baik.

Dalam bisnis ini tak ubahnya strategi yang kerap dipakai perusahaan startup agar mampu dengan cepat mendisrupsi kemapanan perusahaan yang sudah mature. Dengan bergerak secara organik dengan struktur yang bisa diubah mengikuti strategi, perusahaan startup jadi lebih lincah dalam bereksperimen. Namun mengutip Christensen (2017) hanya kurang dari 20 persen dari perusahaan startup yang bergerak dengan begitu organik itu bisa berujung sukses. Sebaiknya lebih banyak perusahaan yang tidak berhasil dengan eksperimen membongkar pasang struktur demi mengikuti perubahan strategi.

Uniknya kenyataan di dunia bisnis ini mirip dengan di sepak bola. Dari banyak klub yang menjalankan strategi structure follow strategy hanya Chelsea dan City yang bisa dibilang paling sukses berprestasi. Itu pun sustainabilitas kesuksesan Chelsea dan City lantaran mereka secara perlahan mengubah landasan dasar organisasinya.

Musim per musim Chelsea dan City tak lagi bergerak organik melainkan lebih mekanistik. Mereka perlahan ajeg dalam struktur yang telah mapan. Walhasil tak lagi structure follow strategy tapi strategy follow the structure.

Strategy follow the structure adalah tesis yang dibangun DJ Hall pada 1980 untuk membantah tesis Chandler. Sebab menurut Hall tidak selamanya organisasi menjadikan struktur sebagai ekor dari strategi. Sebaliknya, menurut Hall, ketika pondasi struktur organisasi telah terbukti menjadi sistem yang efektif dalam memberikan hasil positif bagi organisasi, maka organisasi akan bertahan dengan struktur tersebut. Sehingga strategilah yang menyesuaikan pada struktur yang ajeg.

Dalam konteks bisnis kita bisa melihat bahwa paradigma ini dipakai perusahaan besar. Meski komposisi tim berubah namun struktur organisasinya tetap dipertahankan.

Dalam konteks sepak bola, Chelsea dan City mencontohkan bahwa structure follow strategy dijalankan di awal mereka merintis misi mengubah status klub secara cepat. Setelah mulai mendapat hasil, structure follow strategy perlahan diubah menjadi strategy follow structure. Struktur yang terbukti menghasilkan gelar juara itulah yang dipertahankan.

Hal yang justru berkebalikan dengan Juventus. Usai kegagalan Juventus di final Liga Champions tahun 2017, manajemen tim mengambil langkah drastis dan begitu berani. Meskipun struktur yang dibangun Juve telah terbukti mengantarkan gelar juara Seri A selama nyaris satu dasawarsa, namun manajemen di bawah kendali Andrea Agnelli memilih untuk membongkarnya. Semua demi penasaran Andrea dalam meraih gelar Liga Champions. Itulah gelar yang dapat menjadikan Andrea sebagai seorang Agnelli tersukses dalam sejarah Juventus.

Demi penasaran terhadap Liga Champions itu, Juve yang pondasi strukturnya sudah mature itu justru melancarkan strategi yang lazimnya dijalankan klub 'startup' yakni structure follow strategy. Strategi baru dilancarkan dengan merekrut pemain super bintang berumur yang sudah siap pakai macam Cristiano Ronaldo. Tak hanya itu, Leonardo Bonucci melakoni momen tali kasih keluarga yang hilang sejak pulang dari Milan. Pun halnya Higuain yang sudah minggat pun dipulangkan.

Kebijakan mendatangkan super bintang demi gelar Liga Champions gagal total. Walhasil strategi pun kembali diubah dengan mendatangkan pemain muda potensial dan regenerasi tim yang sudah berumur demi jangka panjang. Walhasil sejak 2017 Juve terus mengubah struktur mengikuti labilnya pilihan strategi manajemen yang terus berubah secara drastis.

Sejak 2018, Juve membongkar pasang pelatih... baca di halaman selanjutnya...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement