Sabtu 17 Sep 2022 03:47 WIB

Sosiolog UI: Kekerasan di Pesantren Kontraproduktif dengan Pendekatan Ala Nabi

Islam memiliki spirit anti kekerasan.

Rep: Muhyiddin/ Red: Agus raharjo
Polres Ponorogo membuka nomor pengaduan khusus kekerasan di Pondok Pesantren (Ponpes).
Foto: Antara
Polres Ponorogo membuka nomor pengaduan khusus kekerasan di Pondok Pesantren (Ponpes).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Ida Ruwaida Noor mengatakan, terjadinya kekerasan di pesantren seolah kontraproduktif dengan pendekatan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Sebab, dalam membangun karakter umat, Nabi Muhammad melakukannya dengan sikap terbuka, persuasif, lembut, bijak, dan humanis.

Menurut dia, tindak kekerasan di pesantren yang terjadi beberapa waktu terakhir ini sebenarnya bisa dicegah. "Tindak kekerasan di pesantren bisa dihindari dan dicegah karena Islam memiliki spirit anti kekerasan," ujar Ida dalam siaran persnya, Jumat (16/9/2022).

Baca Juga

Ida menjelaskan, pesantren sebagai institusi pendidikan merupakan salah satu agen sosialisasi. Bahkan, bagi santri yang bermukim bertahun-tahun, apalagi sejak lulus sekolah dasar/sederajat, pesantren menjadi agen sosialisasi primer.

"Artinya, pola pembelajaran dan pola asuh di pesantren sangat berkontribusi besar pada pembentukan karakter santri. Hal ini berbeda dengan institusi pendidikan non-pesantren yang siswanya berada di sekolah selama enam sampai 10 jam per hari," ucapnya.

Ida mengatakan, tidak ada rumus atau model baku terkait pola asuh dalam pesantren karena setiap pesantren memiliki kekhasan, keunikan, dan keberagaman. Jika merujuk pada fungsi pengasuhan, kata dia, pendekatan yang digunakan berangkat dari asumsi bahwa pesantren adalah keluarga atau orang tua kedua santri.

Menurut Ida, pesantren berfungsi mendidik, melindungi, mengayomi, dan memberdayakan santri, bukan memanfaatkan, apalagi mengeksploitasi. Pengelola pesantren perlu memahami bahwa santri masih tergolong anak-anak berusia 12–19 tahun, sehingga hak-hak anak perlu dihargai, dipenuhi, dan dilindungi.

“Pesantren merupakan agen sosialisasi antisipatoris karena tidak hanya menyiapkan pendakwah, tetapi juga calon-calon tokoh dan pemuka agama. Oleh sebab itu, pesantren selayaknya mendidik dan mengajarkan para santri agar memiliki jiwa ketokohan atau kepemimpinan yang kuat, tidak goyang karena ombak, tidak lapuk karena zaman, dan tidak lupa akar budaya ke-Indonesiaan-nya. Para satri juga harus mampu mengendalikan emosi, kreatif, mandiri, berintegritas, dan inklusif,” kata Ida.

Ida menambahkan, karakter seperti itu hanya bisa dibangun dari pesantren yang tokoh, kiai, guru-guru, dan para pengelolanya mampu menjadi role model atau rujukan bagi anak didiknya. Menurut dia, pola asuh yang mengedepankan keteladanan sudah berhasil ditunjukkan oleh Rasulullah SAW merujuk Teori Peran dan Teori Pembelajaran Sosial, pengamatan dan pengalaman merupakan sumber belajar yang ampuh dalam membangun “konsep diri” dan karakteri diri.

“Selain itu, perlu ada kebijakan negara yang ketat dalam mengontrol praktik penyelenggaraan pendidikan dan pengasuhan di pesantren dengan melibatkan stakeholders strategis. Usulan ini tidak mudah pada tataran implementasi karena aparat negara dan masyarakat terkadang segan dan enggan pada figur kiai,” jelas Ida.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement