REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Depresi dan gangguan kecemasan menjadi salah satu gangguan mental yang rentan ditemui kala pandemi. Pada sebagian orang mengalami masalah gangguan mental neurologis dan juga penggunaan zat.
Data hasil analisis dari pasien di AS dan beberapa negara menemukan dalam dua bulan pertama terinfeksi Covid-19, orang lebih cenderung mengalami kecemasan dan depresi daripada orang yang menderita infeksi saluran pernapasan jenis lain. Dan hingga dua tahun setelahnya, orang tetap berisiko lebih besar untuk kondisi seperti kabut otak (brain fog), psikosis, kejang, dan demensia.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr. Diah Setia Utami, SpKJ mengatakan, pandemi Covid-19 memberikan banyak stresor atau tekanan bagi banyak orang. Mulai dari rasa takut tertular, gerak yang tidak bebas, dampak pada ekonomi, mempengaruhi kehidupan sosial, dan juga pendidikan.
"Di masa pandemi ini rasa takut ya, rasa cemas yang akhirnya menghambat kegiatan lainnya. Jadi utamanya rasa takut, karena semua terkait Covid-19 ini kan tidak ada kejelasan. Kapan berhenti, kapan terkena. Akhirnya cemas tadi mengakibatkan gejala fisik seperti banyak keringat, peningkatan detak jantung, gangguan pencernaan, kelelahan atau sensasi lain yang tidak nyaman akibatnya sulit tidur dan ini bisa berpengaruh ke daya tahan tubuh," kata Diah dalam diskusi daring , Selasa (6/9/2022).
Diah pun menyarankan agar setiap orang dapat beradaptasi dengan situasi pandemi untuk mencegah masalah kejiwaan yang semakin parah. Bagi setiap orang yang memiliki masalah jiwa juga disarankan untuk segera mencari bantuan dengan menceritakan masalah kesehatan mental kepada orang lain yang dipercaya diharapkan bisa membuat penderita bisa sedikit lebih tenang.
"Cerita dulu ke orang lain terdekat agar kita bisa sedikit tenang. Kalau gangguan sangat menggangu bisa ke psikolog atau psikiater. Tapi, jika gejala sudah mengganggu aktivitas, sudah timbul pikiran bunuh diri atau perilaku membahayakan diri sendiri dan orang lain, maka membutuhkan pengobatan psikotropika sehingga harus ditangani psikiater," ujar Diah.