REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jutaan pekerja tak akan mendapatkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) pengalihan subsidi BBM. Alasannya jutaan orang ini tak memenuhi syarat calon penerima meski mereka ikut terdampak jika harga BBM bersubsidi naik.
Pemerintah akan menyalurkan BSU senilai Rp 600 ribu untuk 16 juta pekerja. Kriteria penerimanya adalah pekerja bergaji di bawah Rp 3,5 juta dan terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari mengatakan, peserta BPJS Ketenagakerjaan yang masuk kriteria hanyalah mereka yang masuk kategori pekerja penerima upah atau pekerja formal. Sedangkan pekerja bukan penerima upah alias pekerja informal tidak masuk kriteria.
"Iya (BSU) hanya untuk pekerja penerima upah. Pekerja kategori bukan penerima upah tidak dapat," kata Dita kepada Republika, Selasa (30/8/2022).
Berdasarkan data peserta BPJS Ketenagakerjaan per Januari 2022, ada 20,7 juta tenaga kerja aktif yang masuk kategori penerima upah. Jika merujuk pada jumlah penerima yang ditetapkan pemerintah, maka akan ada 4,7 juta pekerja kategori ini yang tak akan mendapatkan BSU.
Sedangkan, tenaga kerja aktif kategori bukan penerima upah yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan berjumlah 3,5 juta orang. Mereka semua jelas tak kebagian BSU karena tak sesuai kriteria yang ditetapkan pemerintah. Pekerja kategori bukan penerima upah ini banyak ragamnya, mulai dari musisi, petani, nelayan, pedagang, tukang ojek, tukang becak, buruh panggul, hingga petani.
Jumlah pekerja yang tak kebagian BSU ini tentu akan jauh lebih banyak jika merujuk pada data total pekerja di Indonesia. Sebab, tak semua pekerja terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
"Jadi memang, antara jumlah pekerja buruh yang gajinya di bawah Rp 3,5 juta dan jumlah pekerja terdampak kenaikan BBM itu tak sebanding. Jelas jumlah pekerja terdampak lebih dari 16 juta orang," kata Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat kepada Republika, Selasa.
Sementara itu, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyebut program BSU ini tidak tepat karena tak akan dinikmati pekerja di kota-kota industri. Sebab, mereka bergaji di atas Rp 3,5 juta. Padahal, mereka adalah pihak yang paling terdampak kenaikan BBM lantaran tingginya biaya transportasi di kota-kota industri.
Menurut Said, program BSU ini hanya siasat pemerintah untuk mencegah pekerja marah ketika harga BBM bersubsidi dinaikkan. "BSU itu gula-gula, remah-remah saja. Dalam tanda petik, ini menyogok rakyat," kata Said Iqbal saat konferensi pers daring, Selasa.
Baik Said maupun Mirah sama-sama menentang keras rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Langkah ini dinilai hanya akan membuat daya beli kelas pekerja semakin anjlok.