Senin 15 Aug 2022 20:46 WIB

'Kalau Pertalite Naik, Artinya Pemerintah Mau Bunuh Rakyat'

Seandainya Pertalite harus naik, pakar sarankan tidak dipukul rata

Pengendara motor mengantre untuk mengisi bensin Pertalite di Jakarta, Ahad (14/8/2022). Kementerian Keuangan meminta PT Pertamina (Persero) untuk mengendalikan BBM subsidi jenis Pertalite agar tidak semakin membebani APBN. Tercatat hingga Juli 2022 bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite sudah disalurkan 16,8 juta kiloliter dari kuota 23 juta kiloliter. Republika/Putra M. Akbar
Foto:

Sejumlah pengemudi ojek pangkalan (opang) maupun ojek online (ojol) tak setuju dengan wacana pemerintah menaikkan harga Pertalite. Madi, seorang pengemudi opang, seketika terperanjat ketika Republika menanyakan pendapatnya soal wacana kenaikan BBM. Dia baru mengetahui informasi tersebut. Pria berusia 40 tahun itu langsung blak-blakan menolak wacana tersebut.

"Saya nggak terima lah kalau naik. Pendapatan kami aja sekarang udah ngab-ngab, masa Pertalite mau dinaikin," kata Madi ketika ditemui di tempat mangkalnya di Perempatan Bintang Mas, kawasan Palmerah, Jakarta Barat.

Madi bercerita, penghasilannya per hari rata-rata hanya Rp 50 ribu. Sebanyak Rp 20 ribu di antaranya dipakai untuk mengisi bahan bakar sepeda motornya dengan BBM jenis pertalite. Jika pemerintah menaikkan harga pertalite, tentu penghasilan yang bisa Madi bawa pulang jadi berkurang.

Ia pun memastikan bahwa keluarganya akan terdampak. "Dampaknya pasti ke keluarga saya, gimana anak dan istri saya mau makan," kata Madi. Pernyataannya diamini oleh empat rekannya yang juga sedang mangkal di perempatan itu.

Madi berharap betul pemerintah tak menaikkan harga Pertalite. Dia ingin harganya tetap seperti sekarang saja, Rp 7.650 per liter. Jika pemerintah tetak menaikkan harga, Madi akan ikut demonstrasi menuntut pemerintah membatalkannya.

"Kalau Pertalite benaran naik, artinya pemerintah mau membunuh rakyat miskin seperti saya ini. Demi anak, saya pasti akan ikut demo, bahkan saya siap buat bikin rusuh. Ini sudah masalah hidup mati," kata Madi dengan nada menggebu-gebu.

Dua pengemudi ojol bernama Arif dan Udan juga menyampaikan penolakan serupa dengan Madi. Keduanya tak setuju harga Pertalite naik karena akan membuat penghasilan mereka berkurang.

"Dalam hati saya sudah pasti tidak setuju. Tapi saya bilang tidak setuju pun nggak bakal bisa juga mengubah keputusan pemerintah," kata Udan ketika ditemui di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Sementara itu, seorang pekerja swasta bernama Intan mengaku setuju-setuju saja dengan wacana kenaikan harga BBM. Sebab, dia memahami alasan pemerintah menaikkan harga BBM, yakni karena melambungnya harga minyak mentah dunia.

"Tapi, jangan naik terlalu tinggi. Ya maksimal naik jadi 8 ribu lah, genapin aja udah," kata perempuan 27 tahun, yang setiap hari bolak balik dari Tangerang Selatan ke kantornya di Jakarta Pusat menggunakan sepeda motor itu.

Sedang Amrullah (35), warga Pamulang, Tangsel, mengaku sedih ketika mendapatkan informasi adanya kenaikan harga Pertalite. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai driver ojol tersebut mengatakan, kabar itu merupakan kabar buruk, menyusul tarif ojol yang menurut penuturannya belum ada kenaikan seperti yang diberitakan.

"Sangat keberatan, karena kan di samping argo ojek online enggak naik,  ditambah kabar Pertalite naik. Ya sungguh sangat berat. Itu kabar buruk," kata Amrullah di Tangsel, Senin (15/8/2022).

Dia bercerita, harga bahan bakar yang naik membuat pengeluarannya semakin bertambah. Kondisi itu tidak sejalan dengan pendapatan yang stagnan.

Terlebih, menurut penuturannya, pria yang sudah bekerja sebagai driver ojol sejak 2015 tersebut mengatakan, tantangan lain yang dihadapi yakni persaingan antar driver ojol dalam mendapatkan pesanan. Dengan semakin banyaknya jumlah driver ojol, pesanannya dalam satu hari dari belasan hingga puluhan kini hanya di bawah angka lima pesanan.

"Bukan nggak bersyukur ya, driver bukan satu atau dua orang, tambah orderannya segitu-gitu saja, driver nambah pendapatan menurun. Per hari dari jam 07.00 WIB sampai jam 22.00 WIB cuma narik tiga atau empat pesanan, normalnya 15 sampai 20 trip," ungkapnya.

Dengan kondisi itu, Amrullah yang diketahui memiliki tiga anak tersebut berharap agar pemerintah berpikir ulang untuk menaikkan harga Pertalite. "Harapan orang kecil ya jangan dinaikin (harga Pertalite). Kita yang benar-benar mencari uang dari nol pernah enggak megang duit, butuh bensin, bingung. Jadi pemerintah kalau bisa dipikirin lagi, tolong," harapnya.

Pantauan Republika di sejumlah SPBU di wilayah Tangerang Selatan (Tangsel) tidak tersedia BBM jenis Pertalite. Para petugas menyebut stok bahan bakar RON 90 tersebut memang sedang terbatas.

Di Kota Tasikmalaya, penarik ojo Asep (41), mengatakan kenaikan harga BBM pasti akan berdampak langsung kepada para pengemudi ojek daring. "Jelas kami sangat menolak. Karena efeknya besar. Tarif pasti naik, pelanggan juga jadi sepi," kata dia.

Dengan pendapatnya saat ini, Asep mengaku hanya bisa mengisi tangki motornya dengan BBM jenis Pertalite, yang harganya Rp 7.650 per liter. Untuk membeli BBM jenis lainnya, ia tak mampu.

Ia menjelaskan, pendapatannya sebagai pengemudi ojek daring dalam sehari hanya sekitar Rp 300 ribu ketika pesanan sedang ramai. Untuk memenuhi isi tangki motornya dibutuhkan sebesar sekitar 30 persen dari penghasilannya itu. Sementara 30 persen lainnya dihabiskan untuk kebutuhannya selama bekerja, seperti makan dan minum.

"Paling bawa uang ke rumah maksimal hanya Rp 100 ribu," ujar dia.

Apabila harga BBM harus naik, pengeluarannya otomatis ikut membengkak. Alhasil, uang yang dibawa ke rumah berpotensi makin sedikit.

"Kalau BBM naik kan semua pasti ngaruh. Kalau bisa mah jangan sampai ada kenaikan," kata dia.

photo
Membeli Pertalite dan solar bersubsidi menggunakan aplikasi MyPertamina. - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement