Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, kemarin mengingatkan masyarakat yang gemar mengonsumsi mi instan soal harus merogoh kocek lebih dalam. Pasalnya, harga mi diyakini akan semakin mahal imbas kenaikan harga gandum dunia yang menjadi bahan baku pembuatan mi.
Syahrul menuturkan, perang Rusia-Ukraina menyebabkan adanya pasokan gandum Ukraina yang tertahan hingga 180 juta ton. Pasokan itu tak bisa keluar akibat blokade Rusia.
"Jadi, hati-hati yang makan mi banyak dari gandum, besok harga (naik) tiga kali lipat itu. Mohon maaf saya bicara ekstrem saja ini," kata Syahrul.
Syahrul mengatakan, akibat gangguan rantai pasok global, harga gandum melonjak tinggi. Sementara, Indonesia terus melakukan impor gandum karena besarnya kebutuhan masyarakat.
Kementerian Pertanian (Kementan) menyiapkan alternatif untuk mensubtitusi gandum impor. Pemerintah akan fokus mengembangkan sorgum sebagai pengganti gandum.
"Tahun ini Kementan mengembangkan 15 ribu hektare (ha), tahun 2023 kami akan tambah 40 ribu ha menjadi 55 ribu ha," kata Direktur Serealia Kementan, Ismail Wahab.
Ia mengatakan, komoditas sorgum merupakan satu famili tanaman dengan gandum. Sorgum namun memiliki kelemahan karena produk olahan tidak dapat mengembang seperti gandum. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi industri makanan di Indonesia.
Menurutnya, komoditas lokal Indonesia memang tidak dapat 100 persen menggantikan gandum. Potensi sorgum sebagai alternatif namun sangat besar.
Upaya itu tentunya membutuhkan peran serta industri makanan yang lebih mengerti hal teknis dalam pengolahan. Menurut Ismail, saat ini menjadi momentum yang tepat bagi sorgum di tengah ketergantungan gandum yang semakin meningkat dan tingginya harga global.
"Bagaimana kita mau mengakses gandum jika semua negara tidak mau ekspor, karena itu kita coba dengan beberapa komoditas kita. Jangan sampai kita tidak bisa akan mi atau roti," katanya.
Kepala Biro Kepala Biro Perencanaan Kerja Sama dan Humas, Badan Pangan Nasional (NFA), Risfaheri menuturkan, pangan lokal berpotensi untuk mensubstitusi 10 hingga 30 persen kebutuhan gandum untuk terigu. Khusus untuk produk olahan makanan yang tidak butuh sifat mengembang, sorgum bisa mensubsitusi hingga 100 persen.
NFA mendorong Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) agar bisa menciptakan sifat dari pangan lokal yang dapat mendekati gandum. "Apa perlu komponen enzim dan sebagainya, jadi bahan pangan lokal yang tidak punya sifat mengembang bisa mensubsitusi terigu gandum sampai 100 persen, ini tantangan ke depan," kata dia.
Hingga 2021 lalu, total impor gandum tembus hingga 11,7 juta ton, naik signifikan dari 2020 yang masih 10,5 juta ton. Meskipun, sebagian kecil impor gandum kini digunakan sebagai bahan baku pakan unggas.
Pada tahun 1970 lalu, proporsi pangan berbasis gandum hampir 0 persen. Proporsi melonjak hingga 18,3 persen di tahun 2010 dan menjadi 26,6 persen pada tahun 2020.
"Bila kecenderungan ini terus terjadi, maka saat 100 tahun RI merdeka, saya khawatir 50 persen kebutuhan pokok tergandukan gandum, bukan sorgum, jagung, tapi gandum. Ini perlu jadi perhatian bersama," kata Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa.
Selain gandum, Andreas pun mencatat tingginya impor pangan lain. Hingga 2021, total impor pangan Indonesia tembus 27,7 juta ton. Pada 2011 lalu, total impor pangan nasional masih berkisar 16,9 juta ton.
Adapun komoditas terbesar yang diimpor yakni beras khusus, jagung untuk industri makanan, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, hingga kacang tanah. Komoditas itu rata-rata diimpor lebih dari 300 ribu ton per tahun.