Senin 08 Aug 2022 18:13 WIB

BMKG: Perubahan Iklim Ancam Ketahanan Pangan Wilayah Indonesia

Perubahan iklim mengancam produktivitas hasil panen dan tangkap ikan.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Fuji Pratiwi
Petani memanen padi di lahan persawahan, Kebumen, Jawa Tengah, Senin (25/7/2022). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan dampak perubahan iklim dapat mengancam kedaulatan pangan nasional.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Petani memanen padi di lahan persawahan, Kebumen, Jawa Tengah, Senin (25/7/2022). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan dampak perubahan iklim dapat mengancam kedaulatan pangan nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan dampak perubahan iklim dapat mengancam kedaulatan pangan nasional. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, fenomena perubahan iklim yang berakibat pada semakin meningkatnya frekuensi intensitas dan durasi cuaca ekstrem.

Kondisi ini akan mengganggu kegiatan pertanian dan perikanan, bahkan mengancam produktivitas hasil panen dan tangkap ikan.

Baca Juga

"Perubahan iklim ini tentunya berakibat pada ancaman terhadap ketahanan pangan di wilayah Indonesia," kata Dwikorita dalam Rakornas BMKG 2022 Peran Info BMKG dalam Mendukung Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Nasional secara daring, Senin (8/8/2022).

Dwikorita mengatakan, fenomena perubahan iklim menyebabkan sering terjadinya bencana banjir, longsor, banjir bandang, badai tropis, puting beliung hingga kekeringan. Berbagai kejadian ekstrem dan bencana hidrometeorologi ini juga dikhawatirkan mengganggu ketahanan pangan serta dapat berakibat pula pada terganggunya kedaulatan pangan.

Karena itu, BMKG mendorong terus dimaksimalkan sekolah lapang kepada petani maupun nelayan dalam mengantisipasi cuaca dan iklim ekstrem yang dapat berdampak kepada kegiatan pertanian maupun kegiatan melaut.

Dia menjelaskan, sekolah lapang BMKG didesain untuk memfasilitasi literasi petani dan nelayan tentang pemanfaatan info BMKG dalam mendukung kegiatan pertanian dan perikanan secara lebih adaptif, produktif dan tangguh.

"Pengenalan cuaca dan iklim bagi para petani dan nelayan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman petani dalam mensiasati metode dan waktu tanam agar tidak gagal panen," ujar Dwikorita.

Selain itu, dia berharap para nelayan juga dapat menyiasati waktu dan penentuan target zona tangkap ikan agar hasil tangkapan lebih produktif dan tetap terjaga keselamatan.

Dwikorita mengatakan, sekolah lapang iklim telah menjangkau 451 lokasi di tingkat kabupaten di 33 provinsi serta telah melatih 16 ribu peserta selama 10 tahun terakhir. Sekolah lapang iklim ini kata dia, secara rata-rata berhasil meningkatkan sekitar 30 persen untuk komoditas pangan seperti padi, jagung dan hortikultura.

Sedangkan, sekolah lapang cuaca nelayan saat ini sudah memfasilitasi 10.118 peserta di 159 kabupaten di 33 provinsi wilayah Indonesia sejak dimulai 2016. Dia menyebut, sekolah lapang cuaca nelayan ini juga dapat meningkatkan secara rata-rata hasil tangkapan ikan sekitar 20 hingga 30 persen.

Karena itu, dia berharap melalui rakornas ini dapat diperluas cakupan forum sekolah lapang iklim dan sekolah lapang nelayan dengan melibatkan berbagai pihak terkait.

"Diharapkan dapat tersusun matrik rencana tindak lanjut secara cepat, komprehensif dan sinergis dengan melibatkan multisektor dan pihak terkait untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim terhadap ketahanan dan kedaulatan pangan," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement