REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendiri Pridem Institute Priyo Budi Santoso berharap para begawan politik mencegah terulangnya disintegrasi cebong-kadrun di Pilpres 2024. Sikap kenegarawanan seperti dicontohkan Surya Paloh bisa menginspirasi para tokoh bangsa lainnya.
Priyo mengatakan bangsa ini memiliki pekerjaan rumah (PR) besar dalam menghadapi potensi perpecahan bangsa dan gesekan sosial. Dalam kondisi bangsa seperti ini, tidak heran jika publik tersentak atas pidato orasi tokoh nasional Surya Paloh, saat menerima gelar kehormatan Doktor (HC) di Universitas Brawijaya Malang.
“Saya menyampaikan salut dan hormat atas pidato orasi Abangda Surya Paloh yang hebat dan inspiratif tentang warning bahayanya perpecahan bangsa,” ungkap Wakil Ketua DPR periode 2009-2014 tersebut, dalam siaran persnya, Senin (1/8/2022).
Surya Paloh, menurutnya, sedang membangunkan pikiran berpolitik yang selama ini tertidur dari iklim politik ‘ora mikir’ dan ‘telat mikir’ yang abai terhadap bahaya perpecahan. Kata Priyo, orasi tingkat begawan politik ini disampaikan pada waktu dan momentum yang tepat, yaitu saat mau memasuki tahun politik pilpres dan pileg.
Diungkapkannya, fenomena Cebong vs Kadrun terbukti menjadi pelatuk yang mempertajam polarisasi masyarakat. Pertengkaran (sektarian) yang terus dipelihara adalah diskursus yang tidak mencerdaskan, bahkan makin menambah luka sosial yang destruktif.
"Ini harus segera disudahi, segera tutup buku dan tamat riwayat sebelum memasuki tahun politik 2024. Kesengajaan melanggengkan Buzzer-Cebong-Kadrun sama saja membiarkan api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa membakar tatanan sosial bangsa,” papar politikus senior ini.
Politik identitas, lanjut Priyo, sebenarnya lumrah dalam politik dan demokrasi. Identitas merupakan trademark dan ciri khas perjuangan suatu kelompok politik. Ini given dalam politik. "Sejarah perpolitikan kita (pemilu 1955) bahkan pernah mengalami ragam politik identitas yang sangat berwarna,” kata Priyo.
Saat itu, politik identitas nasionalis, komunis, agamis (partai Islam, Kristen, Katolik) tampil mengemuka. Namun, lanjut dia, Pemilu 1955 justru menjadi pemilu yang paling orisinil dan demokratis. "Kuncinya ternyata para tokoh politik zaman itu berdinamika dalam tradisi dan koridor moralitas politik yang wisdom,” ungkap Priyo.
Orasi Surya Paloh, menurut Priyo, adalah orasi pencerahan bangsa. Ia mengajak dan menunggu pikiran-pikiran dari para begawan dan tokoh-tokoh bangsa seperti Presiden Jokowi, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Try Sutrisno, dan para Ketua Umum partai politik ternama, seperti Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, AHY, Syaikhu, Zulkifli Hasan, maupun Suharso Monoarfa.
“Tokoh-tokoh yang saya sebutkan di atas nantinya menjadi penentu lahirnya blok koalisi partai politik dalam pencalonan presiden mendatang,” papar Priyo.
Dijelaskannya, dengan sudah ditolaknya uji materi ambang batas pencalonan presiden, maka merekalah harapan agar pilpres mendatang tidak lagi hanya melahirkan dua blok besar yang langsung berhadap-hadapan.
"Kita tentu berharap kondisi seperti Pemilu 2019 tidak boleh terulang lagi. Jangan sampai politik menjadi bensin yang meletupkan perpecahan bangsa,” ungkap Priyo.