Ahad 31 Jul 2022 05:25 WIB

Baim Wong, Citayam Fashion Week, dan Balap Liar

Citayam Fashion Week harus bisa lebih terarah.

Petugas Dinas Perhubungan (Dishub) mengatur lalu lintas di area zebra cross yang dijadikan lokasi peragaan busana Citayam Fashion Week di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Rabu (27/7/2022). Sejumlah petugas gabungan dari Dishub dan Satpol PP melakukan penjagaan dan normalisasi fungsi zebra cross untuk penyeberangan serta perlintasan kendaraan motordan mobil. Meski demikian, kegiatan fashion show jalanan tersebut masih tetap berlangsung dengan imbauan untuk menjaga ketertiban agar tidak terjadi kemacetan. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petugas Dinas Perhubungan (Dishub) mengatur lalu lintas di area zebra cross yang dijadikan lokasi peragaan busana Citayam Fashion Week di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Rabu (27/7/2022). Sejumlah petugas gabungan dari Dishub dan Satpol PP melakukan penjagaan dan normalisasi fungsi zebra cross untuk penyeberangan serta perlintasan kendaraan motordan mobil. Meski demikian, kegiatan fashion show jalanan tersebut masih tetap berlangsung dengan imbauan untuk menjaga ketertiban agar tidak terjadi kemacetan. Republika/Thoudy Badai

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID,  Baim Wong dan Paula sudah dihujat publik. Semua telunjuk tertuju pada pasangan suami istri itu tatkala mendaftarkan Citayam Fashion Week sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) ke Kemenkumham. Kini mereka telah meminta maaf. Mengaku salah. Pendaftaran tersebut juga sudah dicabut. Tapi, setelah itu apa?

Taman Dukuh Atas kini menjadi magnet berkumpul sekaligus unjuk diri sebagian remaja se-Jabodetabek. Tak ada yang bisa membendung. Gerakan ini pun semakin membesar. ‘Sudirman Citayam Bojonggede Depok’ (SCBD) memang fenomenal, tetapi sekaligus bisa menjadi pisau bermata dua.

Kemunculannya memang organik. Bahkan, ada yang menyebut ini lahir dari kepolosan dan ‘ketidakberdayaan’ atas hegemoni dunia fashion yang amat kapitalistik. Berdansa-dansi di ‘catwalk’ zebra cross dengan mode busana antimainstream itu memang jauh dari kesan mahal dan mewah sebagaimana Paris Fashion Week di sana.

Baca juga : Video Marah-Marahnya di Citayam Fashion Week Viral, Ini Klarifikasi Jeje

Tetapi jangan lupa, gerakan ini bisa saja menimbulkan ekses yang tidak kita inginkan. Ada potensi melenceng dari tujuan awal. Semula lokasi itu sekadar sebagai tempat nongkrong untuk membuat konten di media sosial. Tapi jika dibiarkan bebas tanpa batasan, sangat mungkin akan menjadi ‘panggung’ eksistensi remaja yang semakin liar.

Saya sepakat bahwa kreativitas itu tak berbatas. Dalam konteks konten kreasi, ini relevan. Tetapi setiap pemanfaatan ruang publik harus dilakukan dengan bertanggung jawab. Jika tidak, cepat atau lambat hal tersebut bisa menjadi persoalan. Karena pasti ada orang lain yang merasa haknya dipangkas.

Gejala itu sebenarnya sudah muncul, seperti sampah berserakan, pengguna jalan yang terganggu, bahkan terlihat beberapa waktu lalu adanya remaja yang sampai tertidur di sana di pagi hari. Ini tentu tidak sehat, baik secara fisik maupun mental seorang remaja usia sekolah. Semua itu harus dicarikan jalan tengah.

Ragam persoalan itu harus diselesaikan sekaligus menyiapkan langkah antisipasi yang komprehensif. Hampir pasti akan ada masalah-masalah lain yang lambat laun akan muncul ke permukaan, sebagai ekses dari meledaknya fenomena ini. Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab untuk itu?

Baca juga : Citayam Fashion Week ke Sarinah, Erick: Saya Terbuka Asal tidak Dipolitisasi

Saya ingin menyuguhkan ilustrasi balap motor. Balap liar, khususnya drag race, kita tahu hampir ada di seluruh daerah di Indonesia. Keberadaannya jelas ilegal. Mereka membalap tanpa ada standar yang jelas. Jalan umum digunakan sebagai arena. Tak ada pengorganisasian dalam penyelenggaraan. Apalagi kalau berbicara aspek keselamatan, jangan tanya. Di sisi lain, jokinya punya bakat membalap. Teknisinya punya kompetensi di permesinan. Ini semua bakat-bakat mulia yang bukan saja ‘tidak haram’, tetapi sangat potensial untuk dikembangkan.

Apakah lantas mereka harus dibubarkan tanpa ada solusi? Yang ada justru kucing-kucingan jika itu dilakukan. Tetapi jika membiarkan mereka di jalanan tanpa kontrol juga jelas menyalahi aturan. Balap liar mengganggu hak pengguna jalan lain. Mereka harus diatur. Tidak ada yang salah dengan orang-orang yang terlibat dalam balapan. Mereka hanya melakukan sesuatu yang sebenarnya dibolehkan tetapi tidak mendapat kesempatan.

Maka saya amat senang jika ada pemerintah daerah atau siapapun yang memfasilitasi mereka untuk menyalurkan dan mengembangkan bakat warganya. Balapan menjadi tidak lagi liar. Mereka bertarung di arena yang aman. Peranti pendukung balapan semua ada. Dan yang terpenting, standar keselamatan dalam balapan dipenuhi.

Saya tidak ingin menyatakan bahwa niat Baim Wong mendaftarkan Citayam Fashion Week untuk mewadahi aktivitas Bonge dkk adalah benar. Dia tak ikut punya ide, tidak pula menggagas gerakan itu. Maka ia tak berhak atas kekayaan intelektual itu. Baim Wong jelas tak beretika mendaftarkan Citayam Fashion Week ke HAKI. Titik.

Tetapi Citayam Fashion Week harus bisa lebih terarah. Mereka harus difasilitasi secara lebih layak dan tertib. Koridor permainan musti dibuat tanpa sedikitpun menghilangkan karakter ‘jalanan’ yang melekat sebagai ciri khas.

Baca juga : Alasan Fenomena Citayam Fashion Week Ada di Dukuh Atas

Sebagian besar dari mereka masih berusia belasan, usia sekolah. Artinya, mereka tak boleh lupa’dengan sekolahnya. Umur belasan juga masih dalam fase kelabilan secara emosional. Ketidakstabilan emosi itu sangat rentan terhadap hal baru yang masuk. Akumulasi dari semua itu adalah sebuah kesimpulkan bahwa kegiatan yang melibatkan banyak anak harus dalam pengawasan agar tak bablas. Tapi yang menjadi catatan adalah, jangan sampai kontrol itu justru merenggut kreativitas dan kesempatan mereka.

Kebudayaan kita bukan bebas tanpa batas. Memang tidak ada hukum positif yang mengadili moral. Tetapi justru di situlah peran orang tua untuk terlibat. Orang tua yang saya maksud bukan hanya orang tua biologis, tetapi juga pemangku kepentingan yang memiliki tanggung jawab atas masa depan anak-anak bangsa.

Zaman memang berubah. Tapi, moral dan etik dalam kehidupan bersama harus tetap dijaga. Jika dalam waktu bersamaan kita mengupayakan kemaslahatan tetapi terbentur potensi kemudharatan yang lebih besar, maka menghindarinya menjadi lebih utama. Kaidah ushul fiqh itu barangkali relevan. Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement