REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Siber dari Lembaga Riset Siber Indonesia CISSRec Pratama Dahlian Persadha mendorong pemerintah menyiapkan solusi terhadap dampak penegakkan aturan pendaftaran penyelenggara sistem elektronik (PSE) privat di Indonesia. Ini jika sejumlah PSE privat besar seperti Google, Facebook, Instagram, Twitter tidak juga mendaftar hingga batas terakhir 20 Juli sesuai ketentuan.
PSE privat yang tidak mendaftar hingga batas tersebut terancam diblokir di Indonesia. "Pemerintah dalam hal ini kominfo perlu memikirkan dampaknya serta solusi lain yang sifatnya jangka panjang," ujar Pratama dalam keterangannya kepada Republika, Senin (18/7/2022).
Pratama mengatakan ada beberapa alasan PSE privat besar enggan untuk mendaftar PSE di Indonesia. Di antaranya, karena merasa lebih besar dari negara dan selama ini telah meraup uang dan data tanpa regulasi di Indonesia yang memadai.
Selain itu, PSE tersebut menilai masyarakat, organisasi swasta dan pemerintah Indonesia sangat ketergantungan dengan PSE privat tersebut. Akibatnya, PSE privat ini pun merasa percaya diri Pemerintah Indonesia tidak akan berani melakukan blokir.
"Jadi para raksasa teknologi ini memang sudah jauh merasa percaya diri, mungkin di pikiran mereka tidak akan berani pemerintah Indonesia melakukan blokir," kata Pratama.
Namun demikian, hal ini diharapkan tidak membuat pemerintah goyah dalam menegakkan aturan. "Jelas PSE ini dibuat agar raksasa teknologi ini tunduk pada aturan main di Indonesia," ujar dia.
Pratama mengingatkan ada celah dalam Perkominfo Nomor 10 Tahun 2021 yakni di pasal 9 dan 14 tentang permintaan takedown konten-akun, serta permintaan informasi ke PSE. Dia menilai, sejumlah pasal tersebut digunakan sebagai alasan oleh raksasa teknologi untuk tidak mendaftar PSE di Indonesia.
Selain juga, Kominfo butuh dukungan dari berbagai elemen di masyarakat, jangan sampai upaya ini menjadi kontraproduktif. Karena itu, ia mendorong Kementerian Kominfo menyiapkan berbagai alternatif seperti yang dilakukan China. Namun, hal ini kata dia, butuh kerja keras jangka panjang.
"Tiongkok berani melarang Google, Facebook, Whatsapp karena mereka sudah menyiapkan infrastruktur subtitusinya jauh-jauh hari. Jadi masyarakat di sana sebagai pengganti WA ada WeChat, lalu ada juga QQ dan Weibo sebagai media sosial," ujarnya.
Di Indonesia juga, kata Pratama, terdapat aplikasi dalam negeri yang berani melawan raksasa teknologi, seperti Gojek yang menggeser Uber atau Tokopedia masih paling teratas dibanding aplikasi serupa dari luar negeri seperti JD.ID, LAzada. Bahkan membuat Amazon berpikir ulang untuk masuk ke Indonesia.
"Jadi sebenarnya dengan ekosistem siber yang sehat, adanya aplikasi chat, email, medsos substitusi dari dalam negeri, ini juga secara langsung meningkatkan daya tawar negara di depan raksasa teknologi macam FB dan Google," ujarnya.