REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Dessy Suciati Saputri, Antara
Kasus positif Covid-19 di Indonesia mulai melonjak dan menembus angka 3.000-an kasus per hari sejak Selasa (12/7/2022). Terakhir, data Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 pada Jumat (15/7/2022), sebanyak 3.331 kasus positif Covid-19 dilaporkan di Indonesia.
Pakar Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman menilai, adanya peningkatan kasus saat ini adalah sebuah fenomena klasik. Ia mengatakan, ada beberapa hal yang harus diwaspadai dengan adanya tren kenaikan kasus.
Menurut Dicky, saat ini hampir di semua wilayah Indonesia strategi testing menjadi pasif dan masyarakat mulai terasa testing tidak seaktif dulu. Menurutnya, bila testing dilakukan secara aktif, bukan tidak mungkin ada kenaikan kasus bukan hanya enam kali lipat tapi bisa menjadi 35 kali lipat.
"Sebetulnya akan sangat wajar kalau menemukan kasus infeksinya banyak, bahkan bukan tidak mungkin lebih banyak daripada Delta," kata Dicky kepada Republika, Kamis (14/7/2022).
Dicky mengatakan, ketepatan prediksi masa puncak kasus infeksi saat ini pun menjadi tidak akurat. Hal ini lantaran keterbatasan testing saat ini, sehingga prediksi puncak kasus bersifat dinamis.
"Karena yang dimaksud pemerintah puncak itu ketika jumlah kasus paling banyak kan. Kemudian dianggap menurun. Tapi, kalau bicara ketepatannya, kita harus ingat berdasar seberapa kuat strategi testing dan tracing," tuturnya.
Karena jika testing-nya tidak memadai dan akurat, maka ketepatan masa puncak kasus infeksi itu juga menjadi tidak akurat. Dicky mengatakan, sesungguhnya masa puncak terdiri dari tiga jenis, yakni masa puncak kasus infeksi, masa puncak kasus kesakitan, yang artinya dirawat di rumah sakit, dan masa puncak di kematian.
Ketiga masa puncak ini memiliki interval waktu yang berbeda. Dicky mengatakan, meskipun angka perawatan dan kematian saat ini tidak melebihi saat varian Delta, namun tetap saja akan membebani pelayanan rumah sakit.
"Bedanya saat ini tidak banyak yang masuk ke ruang ICU," kata Dicky.
Lebih lanjut Dicky menjelaskan, subvarian BA.5 dan BA.4 memiliki kemampuan mudah menginfeksi tapi juga memiliki mutasi lebih dari Delta. Bahkan, subvarian Omicron ini juga punya kemampuan immune escape atau luput dari deteksi antibodi.
"Artinya, subvarian ini menginfeksi orang yang sudah memiliki imunitas dari vaksinasi atau terinfeksi, itu jauh lebih tinggi dari varian atau subvarian Omicron sebelumnya," terangnya.
Faktor lain yang menyebabkan tren kenaikan kasus lantaran dunia yang makin longgar terhadap protokol kesehatan. Namun, mobilitas tinggi antar negara tak dapat dibendung lagi sehingga mempercepat penyebaran subvarian baru dari Covid-19 ini.
"Jaring-jaring pengaman yang makin hilang membuat BA.5 makin leluasa di tengah modal imunitas yang lebih baik," ujar Dicky.
Dicky berharap agar pemerintah mau melakukan perubahan dengan kembali menerapkan aturan memakai masker, lalu penerapan wajib vaksinasi tiga dosis dalam beragam kegiatan. Ia juga mendorong pemerintah melakukan perbaikan kualitas udara dengan membuat ventilasi dan sirkulasi udara yang baik, serta mengajak masyarakat menghindari kerumunan untuk menekan penularan BA.5.