REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO - Musim kemarau di Jawa Tengah bagian selatan khususnya Kabupaten Cilacap dan Banyumas berpotensi mundur. Hal ini disampaikan Kepala Kelompok Teknisi BMKG Stasiun Meteorologi (Stamet) Tunggul Wulung Cilacap Teguh Wardoyo.
"Saat ini jika dalam kondisi normal seharusnya sudah memasuki musim kemarau, tetapi ternyata masih banyak terjadi hujan," katanya saat dihubungi dari Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Kamis (14/7/2022).
Bahkan, kata dia, berdasarkan pantauan di Stamet Tunggul Wulung Cilacap pada Kamis (14/7/2022) pagi terjadi hujan sedang dengan curah 41 milimeter. Teguh mengatakan masih banyaknya hujan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir bukan karena fenomena La Nina, melainkan faktor cuaca lokal.
"Indeks Enso hari ini tercatat negatif 0,26 atau netral sehingga tidak ada pengaruh La Nina. Jika dilihat dari faktor cuaca lokal, terlihat adanya kelembapan relatif yang tinggi didukung dengan nilai indeks labilitas lokal yang kuat mendukung proses konvektif di wilayah Jawa Tengah," katanya.
Selain itu, Dipole Mode Index (DMI) atau fenomena interaksi laut dengan atmosfer di Samudra Hindia yang dihitung berdasarkan perbedaan nilai (selisih) suhu permukaan laut antara pantai timur Afrika dan pantai barat Sumatra bernilai negatif 1,14. Dalam hal ini, DMI dianggap normal ketika nilainya positif 0,4.
"DMI saat ini bernilai negatif (negatif 1,14) yang berarti suplai uap air dari wilayah Samudra Hindia ke wilayah Indonesia bagian barat signifikan sehingga berdampak terhadap terjadinya hujan," ujar Teguh.
Di samping itu, anomali suhu permukaan laut sekitar Laut Jawa berkisar 1-3 derajat Celcius yang berarti ada potensi penguapan atau penambahan massa uap air di daerah sekitar Laut Jawa. Oleh sebab itu, musim kemarau saat sekarang bersifat di atas normal karena masih banyak hujan dan berpotensi mengalami kemunduran.
"Seperti contoh di Cilacap, Banyumas, dan sekitarnya sampai dengan bulan Juli ini masih terjadi hujan sehingga musim kemarau mundur dari normalnya," kata Teguh.