Kamis 14 Jul 2022 04:18 WIB

Aktivis Perempuan: Pemisahan Duduk di Angkot tak Selesaikan Masalah

Aktivis menilai pemisahan duduk berdasarkan gender di angkot tak selesaikan masalah.

Aktivis menilai pemisahan duduk berdasarkan gender di angkot tak selesaikan masalah (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Aktivis menilai pemisahan duduk berdasarkan gender di angkot tak selesaikan masalah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis perempuan sekaligus anggota Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual Sri Nurherawati mengusulkan ada kebijakan pendukung terhadap pemisahan tempat duduk antara penumpang wanita dan pria di angkutan kota (angkot).

"Harus disertai kebijakan peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan seksual," kata Sri, Rabu (13/7/2022).

Baca Juga

Menurut Sri, kebijakan Dinas Perhubungan DKI Jakarta untuk memisahkan tempat duduk antara penumpang pria dan wanita itu belum sepenuhnya menyelesaikan masalah kekerasan seksual di tempat publik.

Dia mencontohkan tindak kekerasan seksual masih terjadi di tempat umum, seperti kereta rel listrik (KRL) Commuter Line yang menyediakan gerbong khusus wanita. Oleh karena itu, lanjutnya, masyarakat perlu terus mendapat edukasi supaya tidak menjadi pelaku kekerasan seksual.

Edukasi itu juga harus diperkuat dengan sosialisasi Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) kepada seluruh elemen masyarakat, tambahnya.

Dia menjelaskan materi sosialisasi yang dapat diberikan itu misalnya terkait kerugian bagi negara, masyarakat, keluarga, pelaku, dan korban jika melakukan tindak kekerasan seksual.

Sri juga berharap sosialisasi tersebut bisa dilakukan secara masif kepada masyarakat. Selain itu, tambahnya,pihak penyedia layanan transportasi umum juga harus menyediakan posko pengaduan yang mudah diakses masyarakat.

Mereka juga harus memberikan respons cepat dan sanksi tegas kepada pelaku kekerasan seksual demi mencegah tindak kekerasan seksual berulang di transportasi umum, selain untuk mendukung budaya anti kekerasan seksual.

"Peran serta semua pihak dalam penegakan hukum sangat dibutuhkan guna mencegah berulangnya tindak pidana kekerasan seksual," kata Sri yang merupakan Ketua Yayasan Sukma.

Terkait implementasi UU TPKS saat ini, menurut dia, penanganan kasus kekerasan seksual terhadap santri di Jombang, Jawa Timur. Polisi berupaya menangkap terduga pelaku kekerasan seksual terhadap sejumlah santriwati yang dilakukan oleh tokoh pesantren di Jombang tersebut.

"Lumayan berani. Dukungan para tokoh masyarakat seperti PWNU Jatim juga peran yang diharapkan oleh UU TPKS," imbuhnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syahrin Liputo berencana menerapkan pemisahan tempat duduk antara penumpang pria dan wanita di dalam angkot guna mencegah kasus pelecehan seksual.

Penumpang wanita akan duduk di barisan tempat duduk sebelah kiri, sedangkan penumpang pria di sebelah kanan. Kebijakan tersebut diumumkan berselang beberapa hari setelah kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi di dalam angkot M44 di sekitar Tebet, Jakarta Selatan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement