Kamis 07 Jul 2022 11:11 WIB

Suhu Permukan di Indonesia Naik Bervariasi

Kenaikan suhu permukaan lebih nyata terjadi di Indonesia bagian barat dan tengah.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Seorang wanita minum air mineral di tengah suhu permukaan yang naik bervariasi.
Foto: EPA-EFE/J.J. GUILLEN
Seorang wanita minum air mineral di tengah suhu permukaan yang naik bervariasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengungkapkan, adanya laju peningkatan suhu permukaan di Indonesia. Hanya saja bentuk peningkatannya sangat bervariasi di tiap daerah. 

Berdasarkan analisis hasil pengukuran suhu permukaan dari 92 Stasiun BMKG dalam 40 tahun terakhir, menunjukkan kenaikan suhu permukaan lebih nyata terjadi di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah. 

"Pulau Sumatera bagian timur, Pulau Jawa bagian utara, Kalimantan dan Sulawesi bagian utara mengalami trend kenaikan  > 0,3℃ per dekade," ungkap Dwikorita dalam keterangan pers pada Kamis (7/7). 

Laju peningkatan suhu permukaan tertinggi tercatat terjadi di Stasiun Meteorologi Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, Kota Samarinda (0,5℃ per dekade). Sedangkan wilayah Jakarta dan sekitarnya suhu udara permukaan meningkat dengan laju 0,40 – 0,47℃ per dekade. 

"Secara rata-rata nasional, untuk wilayah Indonesia, tahun terpanas adalah tahun 2016 yaitu sebesar 0,8 °C dibandingkan periode normal 1981-2010 (mengikuti tahun terpanas global), sementara tahun terpanas ke-2 dan ke-3 adalah tahun 2020 dan tahun 2019 dengan anomali sebesar 0,7 °C dan 0,6 °C," ujar Dwikorita. 

Analisis BMKG tersebut, lanjut Dwikorita, senada dalam laporan Status Iklim 2021 yang dirilis Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada Mei 2022. WMO menyatakan hingga akhir 2021, suhu udara permukaan global telah memanas sebesar 1,11 °C dari baseline suhu global periode pra-industri (1850-1900), dimana tahun 2021 adalah tahun terpanas ke-3 setelah tahun 2016 dan 2020. 

WMO juga menyebutkan dekade terakhir 2011-2020, adalah rekor dekade terpanas suhu di permukaan bumi. 

"Lonjakan suhu pada tahun 2016 dipengaruhi oleh variabilitas iklim yaitu fenomena El Nino kuat, sementara itu terus meningkatnya suhu permukaan pada dekade-dekade terakhir yang berurutan merupakan perwujudan dari pemanasan global," kata Dwikorita. 

Sementara itu, Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan menambahkan, pengkajian yang dilakukan oleh Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebut pemanasan global tidak akan terjadi tanpa pengaruh faktor kegiatan manusia (antropogenik). Pengaruh antropogenik yang lebih kuat dibandingkan pengaruh variabilitas alami seperti La Nina tahun 2020 – 2021 (yang memiliki kecenderungan menurunkan suhu permukaan bumi) dibuktikan pula pada kondisi iklim dua tahun tersebut, yang tetap menjadi tahun terpanas setelah tahun 2016.

"Keadaan perubahan suhu udara permukaan juga diikuti oleh perubahan suhu permukaan laut. Hasil analisis menunjukkan suhu permukaan laut di Indonesia juga terus meningkat, dengan laju yang lebih kuat setelah periode dekade 1960-an yaitu sebesar 0,2°C per dekade," kata Ardhasena. 

Ardhasena juga menyebutkan, hasil analisis suhu udara permukaan global menurut perhitungan Badan Administrasi Atmosfer dan Kelautan (NOAA) Amerika Serikat, pada Mei 2022 menunjukkan rata-rata anomali sebesar +0,178°C lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar normal klimatologi periode 1991-2020.  

Ardhasena mengatakan, sesuai kecenderungan trend kenaikan suhu permukaan yang terus terjadi, maka WMO menyatakan terdapat peluang sebesar 20 persen kenaikan suhu udara permukaan global dalam kurun waktu 5 tahun mendatang akan melebihi nilai ambang batas komitmen Kesepakatan Paris sebesar 1,5 °C. 

"Maka dari itu, sangat urgent bagi negara-negara untuk meningkatkan aksi mitigasi gas rumah kaca untuk menekan laju kenaikan pemanasan global," ucap Ardhasena. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement