REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyatakan, penetapan kriteria konsumen penerima BBM bersubsidi baik pertalite maupun solar harus dipastikan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
"Jangan sampai karena kriterianya tidak tepat yang seharusnya tidak berhak (mendapat subsidi BBM) justru menjadi berhak," kata Fahmy di Yogyakarta, Rabu (6/7/2022).
Fahmy menilai wacana pengecualian subsidi BBM bagi mobil 2.000 cc ke atas tidak menjamin pembatasan itu tepat sasaran. Sebab, menurut dia, tidak sedikit kendaraan roda empat 2.000 cc yang harganya murah lantaran berusia tua.
"Kalau seperti itu, itu kan banyak juga pemilik mobil tua 2.000 cc ke atas yang harganya murah. Pemiliknya seharusnya berhak memperoleh subsidi, tetapi karena mobil yang dimiliki 2.000 cc ke atas maka dia tidak memperoleh subsidi," kata dia.
Sebaliknya, kata dia, pemilik mobil mewah justru menjadi berhak karena kapasitas mobilnya 1.500 cc. Karena itu, kriteria konsumen yang berhak menerima subsidi BBM perlu dimatangkan kembali selama masa uji coba penggunaan MyPertamina. Ia menyadari bahwa pembelian BBM bersubsidi perlu dibatasi mengingat beban APBN untuk subsidi BBM sangat besar atau mencapai sekitar Rp502,4 triliun.
Sementara berdasarkan data PT Pertamina, 60 persen penyaluran subsidi BBM tidak tepat sasaran. "Kita semua sepakat bahwa beban APBN untuk subsidi dan kompensasi sudah sangat besar sekitar Rp502,4 triliun sehingga harus dibatasi," kata dia.
Selain itu, ia berharap masa persiapan penggunaan aplikasi MyPertamina maupun web MyPertamina sebagai syarat membeli BBM bersubsidi perlu diperpanjang mengingat belum semua pemilik kendaraan roda empat ke atas dapat mengakses aplikasi maupun web, terlebih apabila kapasitas internet belum menyeluruh.
Sebelumnya, Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas mengusulkan agar mobil di atas 2.000 cc tidak lagi boleh mengisi BBM Pertalite. Mobil dengan kriteria tersebut, dinilai tergolong sebagai mobil mewah.