REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Boy Rafli Amar mengatakan pergerakan terorisme tidak lepas dari perkembangan geopolitik global. Konflik Ukraina dan Rusia juga terkait dengan masalah terorisme.
"Di dalam peristiwa perang Ukraina dan Rusia tersebut juga berkaitan dengan isu-isu terorisme," katanya pada diskusi daring bertajuk "Deteksi Dini Modus Perkembangan Gerakan Radikalisme" yang dipantau di Jakarta, Senin.
Ia menerangkan di satu pihak ada yang mengklaim keikutsertaan ISIS berkedok sebagai tentara bayaran sehingga kondisi yang terjadi berkaitan dengan peta politik keamanan global. Akibatnya, papar dia, terjadi peningkatan pergerakan oleh ISIS yang berkaitan dengan perang antara Ukraina dan Rusia.
Selain itu, dampak perang kedua negara tersebut ialah potensi terjadinya krisis ekonomi yang cukup serius."Jadi kita akan melihat seberapa tahan Indonesia menghadapinya," kata Boy.
Boy menerangkan dari sejumlah rilis yang dikeluarkan beberapa negara, mereka menyakini akan menghadapi ancaman krisis pangan dan energi di masa depan. Jika melirik ke Eropa termasuk Amerika Serikat, ujarnya, harga bensin sudah di atas dua euro atau sekitar Rp40 ribu per liter.
Artinya, kata dia, dampak dari perang yang terjadi adalah kelangkaan minyak dan gas. Dalam kondisi tersebut Indonesia akan diuji menghadapi ancaman yang terjadi di sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat.
Kendati demikian, sambung dia, Indonesia patut bersyukur karena masih mampu menjaga stabilitas harga bahan bakar minyak (BBM), termasuk sembilan bahan pokok (sembako)."Di belahan dunia lain itu terjadi kegelisahan, apalagi mau memasuki musim dingin dan kelangkaan gas bisa menimbulkan masalah besar," ujarnya.
Ia mengingatkan ancaman krisis pangan, gas, dan minyak tersebut berpotensi dimanfaatkan kelompok terorisme dengan membangun narasi-narasi negatif."Jadi, ketimpangan layanan publik bisa jadi pintu masuk dibangunnya semangat permusuhan terhadap negara," kata dia.