Senin 04 Jul 2022 11:45 WIB

Peternak Jawa Timur Keluhkan Mahalnya Obat PMK

Bantuan dari pemerintah dinilai peternak tidak optimal untuk penanganan PMK

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Nur Aini
Seorang dokter hewan memeriksa mulut sapi di sebuah peternakan, ilustrasi. Peternak sapi perah di Dusun Kumbo, Desa Telogosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan mengeluhkan sulit dan mahalnya obat untuk pemulihan penyakit mulut dan kuku (PMK).
Foto: EPA-EFE/BAGUS INDAHONO
Seorang dokter hewan memeriksa mulut sapi di sebuah peternakan, ilustrasi. Peternak sapi perah di Dusun Kumbo, Desa Telogosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan mengeluhkan sulit dan mahalnya obat untuk pemulihan penyakit mulut dan kuku (PMK).

REPUBLIKA.CO.ID, PASURUAN -- Peternak sapi perah di Dusun Kumbo, Desa Telogosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan mengeluhkan sulit dan mahalnya obat untuk pemulihan penyakit mulut dan kuku (PMK). Padahal, dusun itu merupakan salah satu wilayah terdampak.

Salah satu peternak, Jafar Sodiq mengaku kesulitan membeli obat herbal untuk sapi perah miliknya yang terpapar PMK. 

Baca Juga

"Saya punya 24 sapi perah, semuanya terpapar PMK. Satu mati, dua potong paksa dan saya jual murah hanya Rp 3 juta. Kami sudah hancur-hancuran mengeluarkan uang untuk membeli obat herbal. Sedangkan pemerintah hanya memberi bantuan antibiotik dan vitamin yang sebenarnya tidak optimal," kata Jafar, Senin (4/7/2022).

 

Jafar menjelaskan, antibiotik dan vitamin tidak optimal untuk penyembuhan hewan ternak yang terpapar PMK. Menurutnya, obat herbal menjadi opsi peternak untuk mengatasi PMK. Namun, kata dia, harga obat herbal tersebut mahal. Bahkan bisa mencapai Rp 250 ribu hanya untuk satu takaran obat herbal.

 

"Kadang ada yang butuh 3 obat herbalnya untuk satu ekor jadi Rp 750 ribu. Itu kita berat, ketambahan untuk pemulihan hewan ternak, kita butuh beli konsentrat sapi per hari 2 karung yang harganya Rp 210 ribu per karung," ujarnya. 

 

Jafar mengungkapkan, akibat puluhan sapi perah miliknya terpapar PMK, menyebabkan tidak ada produksi susu. Kalaupun ada, pabrik tidak mau menerima. Padahal sebelumnya, 24 sapi perah miliknya bisa produksi 200 liter susu per hari. 

 

"Sudah tidak dapat pemasukan produksi susu selama 20 hari. Dan kita tetap kasih makanan konsentrat, itu berat buat kami. Kalau tidak ada konsentrat hanya ijoan, sapinya ambruk karena itu karbohidrat," kata Jafar.

 

Sementara itu, Pengurus Koperasi Peternakan Sapi Perah (KPSP) Setia Kawan Nongkojajar, Julianto mengungkapkan, produksi susu di wilayah Nongkojajar menurun sejak PMK. Produksi susu biasanya mencapai 125 ton per hari. Saat ini hanya sekitar 80 ton susu sapi per hari, bahkan sempat 50-60 ton per hari.

 

"Karena di beberapa dusun salah satunya di Kumbo itu banyak sapi perah terpapar PMK," kata dia.

 

Keluhan peternak itu disampaikan saat Wakil Ketua DPRD Jatim, Anwar Sadad meninjau kandang peternakan sapi perah di Dusun Kumbo, Desa Telogosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan. Anwar Sadad berjanji akan mendesak Pemprov Jatim lebih serius dalam menangani PMK. Sebab, PMK menyebabkan banyak peternak kehilangan pemasukan. Sadad mengaku akan berkomunikasi dengan Plt Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak dan Dinas Peternakan.

 

"Saya kira Pemprov perlu datang dan melihat langsung, agar tahu formulanya. Apalagi ini sudah pandemi, ini penting agar tidak semakin buruk. Kalau bisa duduk bareng dengan peternak, agar ketemu solusinya," kata Sadad. 

 

Ketua DPD Gerindra Jatim itu pun menyebut, Pemprov Jatim harus memberikan terobosan dalam menangani PMK. Karena masuk kategori bencana, maka bisa menggunakan biaya tidak terduga (BTT). Dinas Peternakan disebutnya sejauh ini tidak memiliki antisipasi itu.

 

"Karena sesuai SK Gubernur masuk bencana, ya harus berani menerapkan BTT. Ini berpacu waktu, daya tahan peternak juga mengatasi ini kan dari uang pribadi mereka, kalau hutang apa gak berbunga, kan kasian," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement