Kamis 30 Jun 2022 19:02 WIB

Implementasi UU PSDN Dikhawatirkan akan Melanggar HAM

UU PSDN alarm menguatnya militerisme di Indonesia.

Bivitri Susanti  menyebut  implementasi UU  Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara, berpotensi melanggar HAM. Foto ilustrasi Bivitri Susanti.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Bivitri Susanti menyebut implementasi UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara, berpotensi melanggar HAM. Foto ilustrasi Bivitri Susanti.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti, khawatir implementasi UU  Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara, berpotensi melanggar HAM. 

"UU No. 23 Tahun 2019 ini juga sebagai alarm tanda menguatnya militerisme di Indonesia,” kata Bivitri dalam siaran pers, Kamis (30/6/2022).

Pernyataan ini disampaikan Bivitri pada Launching Buku "Menggugat Komponen Cadangan” Telaah Kritis UU No. 23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan,  di Waroeng Sadjoe Tebet, Kamis (30/6/2022).

Lebih lanjut Bivitri menambahkan bahwa secara substansi, hukum pidana militer yang diterapkan kepada Komcad itu juga menjadi persoalan karena menimbulkan kekacauan hukum.  Pidana militer seharusnya diterapkan hanya kepada militer, tetapi ini bisa kepada Komcad.

Ketua Komnas HAM RI, Taufan Damanik, memperkirakan pendekatan militer bakal menguat dengan penerapan UU PSDN ini. Padahal belajar dari kasus Aceh dan Papua pendekatan militer tidak bisa menyelesaikan konflik di Aceh dan Papua.

"Kita  tidak boleh menempatkan militerisme terlalu tinggi sebagai solusi setiap masalah,” ungkapnya.

Taufan mendesak agar kampanye pemerintah untuk merekrut Komponen Cadangan dilawan dengan narasi yang lebih humanis dan demokratis, serta imajinatif. “Akan seperti apa Indonesia yang humanis dalam bayangan kita ke depan,” kata Taufan.

Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar, menyoroti tentang perluasan definisi ancaman pertahanan negara. Dikatakannya, frasa “yang bertentangan dengan Pancasila” dan “wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 itu bersifat multi tafsir.

Selain itu, penambahan ancaman hibrida dan identifikasi ancaman non‐militer  yang di antaranya seperti agresi, terorisme, komunisme, separatisme, pemberontakan bersenjata, bencana alam, kerusakan lingkungan, pelanggaran wilayah perbatasan, perompakan dan pencurian sumber daya alam, wabah penyakit, dan seterusnya bersifat problematik.

Sementara Ray Rangkuti (Lingkar Madani dan Aktivis Reformasi 1998) menilai  cara pandang pemerintah melihat isu bela negara masih keliru dan cenderung militeristis. Cara pandang ini menunjukkan bahwa saat ini terjadi penguatan militerisasi dalam kehidupan sipil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement