Selasa 28 Jun 2022 18:05 WIB

Polemik Transparansi Draf RKUHP yang Masih Rahasia untuk Publik

Pemerintah sebut draf RKUHP belum dibuka karena masih banyak perbaikan isi.

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP melakukan aksi unjuk rasa di Kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Selasa (21/6/2022). Aksi yang bertepatan dengan hari ulang tahun Presiden Jokowi ini menuntut Presiden dan DPR untuk membahas kembali pasal-pasal bermasalah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terutama pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara meski tidak termasuk ke dalam isu krusial.Prayogi/Republika
Foto:

Transparansi memang jadi salah satu sorotan utama RKUHP. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta DPR dan pemerintah memastikan proses legislasi RKUHP berlangsung transparan dan partisipatif. Proses ini penting dalam demokrasi untuk meningkatkan kepercayaan publik.

"Proses legislasi juga perlu membuka pembahasan secara lebih menyeluruh, tidak terbatas pada 16 isu krusial, untuk memastikan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangan pers yang diterima Republika pada Senin (27/6/2022).

Diketahui, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan Pemerintah pada 25 Mei 2022 menyebutkan RKUHP akan disahkan pada Juli 2022. Namun, hingga kini draf terbaru RUU KUHP belum dapat diakses oleh publik karena Pemerintah belum menyerahkan draf kepada Komisi III DPR RI.

"Kondisi ini patut disayangkan karena menghambat pemenuhan hak warga negara untuk berpartipasi secara bermakna dalam pembentukan undang-undang," ujar Andy.

Pada RDP tersebut juga dinyatakan bahwa terdapat 16 isu krusial yang akan menjadi fokus pembahasan dari RKUHP sebagai proses legislasi carry over  dari periode yang lalu. Namun, Komnas Perempuan berpandangan masih terdapat isu krusial lain di samping ke-16 isu tersebut yang juga perlu ditelaah ulang sebelum RKUHP disahkan. Terlebih ini terkait disahkannya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

"Telaah ulang perlu menggunakan prinsip uji cermat tuntas (due dilligence) untuk memastikan pemenuhan hak-hak konstitusional warga dengan mencermati kemungkinan kerugian pada kelompok rentan, sebagaimana dinyatakan dalam Naskah Akademik RUU KUHP. Termasuk di dalam pencermatan ini adalah memastikan tidak ada kerugian yang diakibatkan oleh bias gender," ucap Andy.

Komnas Perempuan menegaskan wajib memberi masukan terhadap RKUHP guna memastikan terintegrasinya perlindungan bagi kelompok rentan mengalami diskriminasi, antara lain perempuan, anak dan penyandang disabilitas.

Hal ini sejalan dengan tugas Komnas Perempuan untuk memberikan saran kepada pemerintah, lembaga legislatif, yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat. Sehingga terjadi perubahan hukum yang mendukung pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan.

"Komnas Perempuan ingin memastikan tidak terjadinya reviktimisasi terhadap perempuan korban dalam norma pemidanaan dan delik pidana yang berkaitan dengan hak kebebasan masyarakat sipil serta kekerasan berbasis gender," tegas Andy.

Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Raihan Ariatama, menilai beberapa pasal dalam RKUHP dapat menghambat demokratisasi di Indonesia. Dalam draf RKUHP versi September 2019 yang dapat diakses publik, terdapat beberapa pasal kontroversial yang dinilai akan mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Ia memberi contoh seperti Pasal 218 tentang penghinaan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 tentang penghinaan terhadap pemerintah. Pasal 273 tentang pidana bagi demonstran yang tidak melakukan pemberitahuan dan menimbulkan keonaran dan Pasal 353 dan 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.

"Pasal-pasal tersebut mengandung multitafsir dan sangat berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kritik dan mempidanakan para aktivis yang menyuarakan kritiknya, baik itu melalui aksi demonstrasi maupun melalui sarana teknologi informasi seperti media sosial," kata Ketua Umum PB HMI Raihan Ariatama, Sabtu (18/6/2022) dalam keterangan tertulisnya.

photo
Rancangan KUHP - (republika/kurnia fakhrini)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement