REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah dunia yg terus dilanda konflik, baik yang berlatarbelakang teritorial maupun etnik dan agama, diplomasi Pancasila perlu dikembangkan. Hal tersebut. disampaikan Darmansjah Djumala, dewan pakar BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri pada acara "Pembinaan Ideologi Pancasila Bagi Pegawai BPIP", 23 Juni 2022.
Indonesia pernah ikut kontribusi dalam upaya meredakan konflik di beberapa negara, seperti Kamboja, Filipina, Myanmar dan Afghanistan. Dinyatakan pula oleh Dubes Djumala, yang pernah bertugas sebagai Duta Besar untuk Austria dan PBB di Vienna, kontribusi itu menunjukkan Indonesia bisa berbagi pengalaman (experience), pelajaran (lesson learned) dan praktik terbaik (best practices) dalam penyelesaian konflik dengan negara-negara yang mengalami perpecahan. Ideologi Pancasila sebagai ideologi perdamaian mengandung nilai-nilai pemersatu bagi bangsa yang majemuk. Nilai pemersatu itulah yang dapat diproyeksikan dalam laku diplomasi Indonesia di luar negeri.
Dalam paparannya berjudul “Pancasila dan Diplomasi RI: Internasionalisasi Pancasila melalui Kebijakan Luar Negeri Indonesia”, Dubes Djumala mengungkapkan, Pancasila sejatinya pernah diperkenalkan di forum dunia ketika Bung Karno menyampaikan pidatonya di Sidang Umum PBB pada 30 September 1960. Di tengah suasana Perang Dingin, Presiden pertama Indonesia itu menawarkan 5 prinsip Pancasila yang mengandung nilai-nilai universal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Djumala, dalam pergaulan diplomatik, bahkan sampai pada level Kepala Negara, banyak negara sahabat tahu tentang Pancasila sebagai ideologi perdamaian yang mampu mempersatukan masyarakat majemuk dalam suku, etnik dan agama dalam satu negara.Spirit pemersatu yang terkandung dalam Pancasila itu yang banyak dikagumi oleh banyak negara dunia, terutama yang sedang mengalami konflik dan perang saudara.
Sementara banyak negara mengalami perpecahan akibat konflik suku, etnik dan agama, Indonesia dengan Pancasilanya justru membuktikan pada dunia bahwa bangsa Indonesia tetap utuh dalam negara kesatuan. Menurut Dubes Djumala, itu tidak lain tidak bukan karena bangsa Indonesia committed dengan Pancasila sebagai ideologi Negara.
Keutuhan Indonesia sebagai negara yang beragam dalam suku, etnik dan agama sudah teruji oleh dinamika sejarah dunia. Indonesia dengan Pancasilanya sudah melalui berbagai tragedi sejarah dunia. Sebut saja misalnya, selama Perang Dingin (1947-1989) banyak negara bubar dan pecah, Indonesia tetap utuh. Setelah runtuhnya Tembok Berlin (1991) yang menandai berakhirnya Perang Dingin, banyak negara mengalami disintegrasi dan hancur akibat konflik etnik dan agama, Indonesia tetap utuh sebagai negara bangsa.
Tragedi 11 September 2001 di New York, memantik kecurigaan antara Barat dan dunia Islam. Tapi Indonesia justru menjadi role model negara mayoritas Muslim yang dapat mengadopsi demokrasi. Arab Spring pada 2011 yang meniupkan angin demokrasi di Arab Timur Tengah juga telah memporakporandakan negara-negara di kawasan itu dalam kecamuk perang saudara. Tapi Indonesia tetap utuh. Itu karena Indonesia committed dengan Pancasila.
Ketangguhan ideologi Pancasila dalam terpaan dinamika sejarah dunia seperti itu menjadi modal politik bagi Indonesia untuk menggunakan Pancasila sebagai instrumen diplomasi. Pancasila yang sarat dengan nilai-nilai pemersatu, moderat, toleran dan menghargai keberagaman bisa diperkenalkan kepada negara yang dilanda konflik.
Dengan berpegang pada nilai-nilai itu, konflik dapat ditekan seminimal mungkin. Dubes Djumala menyarankan agar para Duta Besar dan diplomat Indonesia dapat memasukkan program sosialisasi Pancasila dalam aktifitas diplomasi dan mission papernya sebelum ditugaskan ke negara sahabat.