REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang diwakili Ketua Umum, Giring Ganesha Djumaryo dan Sekretaris Jenderal, Dea Tunggaesti menggugat Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ketentuan verifikasi partai politik (parpol) sebagai peserta pemilu. Dalam sidang pendahuluan, para Hakim MK memberikan nasihat kepada PSI mengenai kedudukan hukum dan asas ne bis in idem.
PSI mengajukan uji materi Pasal 173 ayat 1 UU Pemilu. Pasal 173 ayat 1 berbunyi; Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU." Pasal tersebut telah dikoreksi oleh MK melalui putusan Nomor 55/PUU-XYIII/2020.
Ketentuan Pasal 173 ayat 1 kemudian dimaknai oleh MK, yakni Partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi, namun tidak diverifikasi secara faktual. Adapun, partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan parliamentary threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual. Hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru.
Asas ne bis in idem dalam hukum acara MK dijumpai pada Pasal 60 Ayat (1) UU MK, berupa larangan untuk kembali mengadili norma yang sebelumnya telah diuji. Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih menyarankan agar PSI menguraikan argumentasi bahwa permohonannya tidak ne bis in idem dengan perbedaan baru uji Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan alasan-alasannya.
"Bahwa berkenaan dengan permohonan Saudara ini, Pasal 173 ayat 1 itu sudah pernah diputus oleh MK, baru Anda uraikan tentang Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK (Peraturan MK) itu untuk menunjukkan apakah betul ini ne bis in idem atau tidak. Baru kemudian Saudara beragumentasi, karena ini menurut Anda ini tidak ne bis in idem, baru Saudara beragumentasi dalam posisinya," ujar Enny.
Menurut dia, pemohon seolah-olah menguji norma yang belum pernah diputus oleh MK. Dia meminta pemohon konsisten menyatakan bahwa Pasal 173 ayat 1 memang telah dimaknai oleh MK.
Hakim Konstitusi, Arief Hidayat juga menekankan perlunya pemohon mencermati perkembangan UU Pemilu, terutama berkaitan dengan pasal yang diujikan dan dimaknai oleh Mahkamah. “Coba lebih cermat dalam mengajukan permohonan dan untuk menghindari ne bis in idem sehingga konstitusionalnya berbeda. Jadi, tunjukkan betul perbedaannya dengan permohonan terdahulu yang telah diputus MK,” kata dia.
Di sisi lain, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyinggung legal standing atau kedudukan hukum pemohon. “Sementara itu mengenai legal standing, belum terlihat AD/ART yang menyebutkan apakah ketua umum dan sekjen yang dapat menjadi wakil partai dalam dan di luar sidang,” kata Manahan.
Pemohon diberikan waktu hingga 4 Juli 2022 untuk memperbaiki permohonan ini. Sidang berikutnya akan diinformasikan lebih lanjut kepada pemohon oleh kepaniteraan MK.
PSI menyatakan dirinya ialah partai politik yang lolos verifikasi dan telah ditetapkan sebagai peserta pemilu tahun 2019, tetapi tidak berhasil memenuhi ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebagaimana ketentuan Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu. PSI hanya memperoleh suara sebanyak 2.650.361 atau 1,89 persen, tetapi ketentuan ini mensyaratkan minimal empat persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.
PSI ingin mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sama dan adil serta setara kedudukannya dan tidak diskriminatif sebagai sesama partai politik yang akan mengikuti Pemilu 2024. Selain itu, banyaknya pertambahan jumlah penduduk, pemekaran daerah baru, perpindahan anggota partai politik ke partai politik lain yang dinamis, dan konflik internal yang memicu perpecahan partai politik akan berdampak pada perubahan syarat pemilu yang harus dipenuhi oleh partai politik tanpa terkecuali.
PSI menyebutkan, putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 menjadi dasar pemberlakuan verifikasi yang berbeda antara parpol parlemen dan parpol nonparlemen. Berdasarkan hal tersebut, PSI berkeyakinan pelaksanaan verifikasi faktual bagi seluruh parpol tidak akan membebani perekonomian negara.
"PSI berharap pesta demokrasi tak hanya diikuti oleh partai politik parlemen, tetapi juga partai nonpalemen. Sebab, semuanya merupakan partai politik yang merupakan organ yang hidup dinamis, maka sudah selayaknya seluruh parpol diperlakukan secara sama dan layak," ujar kuasa hukum pemohon, Rian Ernest dalam persidangan.
PSI juga menilai, pencantuman nama anggota, alamat kantor partai politik di kabupaten/kota, dan syarat lainnya yang dikirimkan partai politik kepada KPU pada proses verifikasi administrasi berpotensi ditemukannya ketidaksesuaian data. Dengan demikian, PSI memandang, verifikasi administrasi dan faktual penting bagi seluruh parpol, baik yang sudah berada di parlemen, lulus verifikasi Pemilu 2019, tidak lulus, maupun parpol baru.
"Menyatakan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'seluruh partai politik, yakni (i) partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan sudah lolos/memenuhi ketentuan parliementary threshold pada Pemilu 2019, (ii), partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan tidak lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019, dan (iii) partai politik baru, wajib lulus verifikasi administrasi dan faktual oleh Komisi Pemilihan Umum," demikian bunyi petitum yang disampaikan PSI.