REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejatinya reshuffle kabinet menjadi sebuah agenda publik, karena ada upaya untuk perbaikan kinerja pemerintahan.
Namun dalam pengumuman reshuffle kabinet Indonesia Maju oleh Presiden Joko Widodo, Rabu (15/6/2022) lalu bisa jadi ada upaya lain di balik kaca mata publik, terutama terkait strategi politik dan pencalonan presiden jelang 2024.
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, mengungkapkan publik melihat beragam problem ekonomi dalam beberapa waktu terakhir jadi alasan dilakukannya reshuffle.
Soal stabilitas harga-harga kebutuhan pokok dan yang paling monumental adalah terjadinya kelangkaan minyak goreng disertai harga yang membumbung tinggi hingga sekarang.
"Sayangnya muatan politik tampak mendominasi ketika Ketua Umum PAN Zulkifi Hasan ditunjuk sebagai Menteri Perdagangan dan Menteri-Menteri bidang perekonomian luput dari pergantian," kata Agus kepada wartawan, Jumat (17/6/2022).
Drama reshuffle menjadi antiklimaks karena nalar politik di atas kepentingan publik yang sudah semestinya menjadi prioritas. Apalagi tingkat kepuasan terhadap pemerintah bergerak fluktuatif di kisaran 58-68 persen, berdasarkan temuan beberapa survei.
Dia menilai, di luar fakta subtansi soal reshuffle, tak bisa dimungkiri agenda politik yang mengintari peristiwa ini terus bergulir menjelang Pemilu 2024.
Baca juga: Neom Megaproyek Ambisius Arab Saudi, Dirikan Bangunan Terbesar di Dunia
Suka atau tidak secara internal Presiden Jokowi dituntut untuk menjaga stabilitas politik agar program-program pemerintah berlangsung efektif sehingga yang diganti adalah para menteri dari nonparpol.
"Harmoni ini menjadi awalan positif agar saat menyambut momentum 2024, Presiden Jokowi bisa turut berpartisipasi baik di panggung depan maupun belakang," terangnya.
Apalagi poros koalisi untuk merespons pesta demokrasi serentak ini sudah terbentuk dengan Golkar-PAN-PPP sebagai anggotanya dalam wadah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Banyak pihak menduga, kehadiran koalisi ini adalah buah dari tangan dingin Presiden Jokowi, dimana belum membentuk peluang terbentuknya poros baru.