Selasa 14 Jun 2022 06:41 WIB

Hakim MK Cerita Keadilan dalam Pancasila

Para filsuf menyampaikan berbagai pendapatnya mengenai keadilan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andi Nur Aminah
Hakim Mahkamah Konstitusi Wahiduddin Adams
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Hakim Mahkamah Konstitusi Wahiduddin Adams

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Mahkamah Konstitusi Wahiduddin Adams menegaskan keadilan tercantum dalam dasar Pancasila. Menurutnya, keadilan sebagai tujuan berhukum untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. 

Hal itu dikatakannya saat menjadi pembicara dalam kegiatan Pelatihan Dasar Kader Paralegal yang diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan dan Bantuan Hukum Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Wahiduddin mengatakan para filsuf menyampaikan pendapatnya mengenai keadilan sehingga dikonstruksikan sebagai teori keadilan. Sebab ia meyakini semua aspek kehidupan terdapat asas manfaat.

Baca Juga

"Di Barat ada nama Immanuel Kant hingga John Rawls yang mengutarakan teori keadilan. Di Timur, para filsuf seperti Kong Hu Cu (Confucius), sementara dalam Islam, para ulama juga menafsirkan kosep 'keadilan' berdasarkan Alquran dan sunnah," kata Wahiduddin dalam keterangan pers di situs resmi MK dikutip, Senin (13/6).

Wahiduddin menyebut keadilan sosial juga sebagai cita hukum Indonesia. Pendekatan sistematis dalam UUD 1945 tertuang dalam konsep keadilan sosial dikaitkan pengaturan mengenai “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial” yang terdapat dalam Bab XIV – Pasal 33 dan 34 UUD 1945. 

Menurutnya, pengertian 'dikuasai oleh negara' dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik maupun ekonomi. 

"Jika pengertian kata 'dikuasai oleh negara' hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak akan mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan 'sebesar-besarnya kemakmuran rakyat', yang dengan demikian berarti amanat untuk 'memajukan kesejahteraan umum' dan 'mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia' dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin diwujudkan," ujar Wahiduddin. 

Wahiduddin juga menegaskan rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan dan tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan untuk kemakmuran rakyat.

"Perkataan ‘dikuasai oleh negara’ haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya’, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud," ucap Wahiduddin.

Secara historis, Wahiduddin melanjutkan, cita negara yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, tidak terlepas dari arus utama pemikiran yang berkembang pada saat UUD 1945 disusun. Pemikiran tersebut, yakni pemikiran yang dikenal sebagai paham negara kesejahteraan yang mewajibkan negara bertanggungjawab dalam urusan kesejahteraan rakyatnya, yang antara lain di dalamnya termasuk fungsi negara untuk mengembangkan jaminan sosial bagi rakyatnya.

Dengan demikian, terminologi 'negara' dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam hubungannya dengan paham negara kesejahteraan, sesungguhnya lebih menunjuk kepada pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara bagi rakyat atau warga negaranya. "Sehingga, fungsi tersebut merupakan bagian dari fungsi-fungsi pemegang kekuasaan pemerintahan negara menurut UUD 1945. Agar fungsi dimaksud dapat berjalan, maka pemegang kekuasaan pemerintahan negara membutuhkan wewenang," ucap Wahiduddin. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement