REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Febryan A, Shabrina Zakaria
Rencana penghapusan tenaga honorer pada 2023 dinilai sulit dilakukan. Pasalnya, tidak semua pemerintah daerah (pemda) akan mampu menanggung anggaran gaji pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Pakar otonomi daerah (otda), Djohermansyah Djohan, menyarankan agar tenaga honorer di lingkungan pemda dialihkan menjadi PPPK melalui proses seleksi. Namun, kata dia, pemerintah pusat perlu menambah dana alokasi umum (DAU) karena pengalihan ini tentu membuat anggaran belanja pegawai pemda membengkak.
"Tapi kalau pemerintah pusat, Kementerian Keuangan misalnya, kaku tidak mau kasih tambahan, maka itu akan membebani APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah)," ujar Djohermansyah saat dihubungi Republika, Senin (13/6/2022).
Dia mengatakan, tenaga honorer menjadi jalan tengah bagi pemda untuk merekrut pegawai dengan menyesuaikan kondisi keuangan daerah. Tenaga honorer dibutuhkan pemda untuk mengisi berbagai posisi strategis, seperti guru dan petugas pemadam kebakaran (damkar).
Sementara, apabila tenaga honorer dialihkan menjadi PPPK, sistem penggajian pun berbeda. Bahkan, kata dia, besaran gaji PPPK bisa saja mencapai dua sampai tiga kali lipat dari upah tenaga honorer.
Dia menegaskan, terkait gaji PPPK ini jangan sampai membebankan APBD dan justru mengorbankan anggaran untuk pelayanan publik di daerah. Pemda dapat melakukan perhitungan dengan cermat dan mengajukan kebutuhan PPPK beserta anggaran untuk gajinya kepada pusat.
Dengan demikian, Djohermansyah mengatakan, penghapusan tenaga honorer di instansi pemda tidak bisa dilakukan secepatnya pada 2023 dan diseragamkan waktunya. Menurut dia, pemda perlu melakukan pencermatan dan pemetaan terhadap kebutuhan pegawai yang tentu akan berbeda waktunya di setiap daerah.
"Jangan gegabah menangani pengalihan honorer ke PPPK, harus diteliti matang-matang," kata dia.
Dia melanjutkan, apabila penghapusan tenaga honorer dilakukan terburu-buru tanpa pencermatan, akan terjadi gap kebutuhan tenaga honorer di daerah. Hal ini bakal berimbas pada pelayanan publik yang tidak optimal dan maksimal di daerah.
Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) Bima Arya Sugiarto menyatakan, larangan mempekerjakan honorer bagi instansi pemerintah mulai 2023 akan berdampak bagi pemerintah daerah. Selama ini, kata Bima Arya, ada banyak persoalan terkait dengan rekrutmen pegawai. Seperti kebutuhan daerah yang tidak sinkron dengan pola rekrutmen dari pusat.
“Penganggaran juga masih belum terkoordinasi dengan baik. Karena itu, menurut hemat kami tidak bisa dipaksakan. Apabila ditargetkan oleh pemerintah pusat di 2023 ini semua sudah tidak ada lagi honorer, tidak bisa,” tegasnya, dalam siaran pers, Sabtu (11/6/2022).
APEKSI, Bima mengatakan, memberikan masukan untuk dilakukan pemetaan secara menyeluruh terkait dengan analisis jabatan dan kebutuhan di semua daerah. “Sehingga bisa diketahui kebutuhan setiap daerah seperti apa. Penganggarannya bagaimana. Dari situ bisa terlihat bagaimana tahapannya. Dan sepertinya kemungkinan besar tidak mungkin di 2023 selesai semua,” kata Wali Kota Bogor ini.
Senada dengan Bima Arya, Wali Kota Jambi Syarif Fasha menambahkan, pemerintah daerah membutuhkan waktu terkait penghapusan tenaga honorer. Menurutnya penghapusan honorer pada 2023, akan menjadi 'kiamat kecil' bagi pemerintah daerah
Fasha menyatakan, penghapusan harus dilakukan secara bertahap dengan ketentuan yang jelas. “Misalnya 2023 kita hapus 100, tapi kami harus merekrut PPPK 100 juga,” ujar Fasha.
Kemudian, perekrutan PPPK harus mendahulukan honorer yang ada di daerah masing-masing. "Apabila sistem penggantian PPPK nanti dilaksanakan oleh APBD masing-masing pemerintah daerah, didahulukan adalah tenaga-tenaga honorer yang ada di daerah masing-masing. Jangan sampai masing-masing kota menganggarkan penggajian lewat APBD, tapi yang masuk tenaga PPPK yang berasal dari kabupaten kota di luar daerah tersebut. Perlu regulasi khusus," ujarnya.