REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A
Keputusan pemerintah menghapus keberadaan tenaga honorer di semua instansi pemerintahan diyakini bakal memperburuk kualitas pelayanan publik. Pemerintah diminta membuat kebijakan afirmasi agar ratusan ribu tenaga honorer yang ada saat ini tetap bisa mengabdi.
Ketua Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) DKI Jakarta Nurbaiti mengatakan, kebijakan penghapusan tenaga honorer pada 2023 adalah kabar buruk, tak hanya bagi pekerja honorer itu sendiri, tapi juga bagi gerak birokrasi. Sebab, banyak instansi di daerah-daerah yang keberlangsungan birokrasinya sangat bergantung pada tenaga honorer.
"Banyak instansi-instansi yang jumlah PNS-nya tidak memadai. Ada instansi yang jumlah PNS-nya cuma 4 atau 5 orang, selebihnya honorer," kata Nur kepada Republika, Selasa (7/6/2022).
Tak hanya soal komposisi PNS dan honorer, kata Nur, keberadaan honorer malah memegang peran kunci dalam sejumlah bidang kerja. Misalnya, petugas dinas pekerjaan umum yang mengecek lampu jalanan dan memperbaikinya adalah tenaga honorer, bukan PNS. Begitu juga petugas penjaga pintu air, mereka adalah honorer.
Ketua Umum Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I) Sahirudin Anto menyampaikan hal serupa. Bahkan, dia meminta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo untuk datang ke daerah-daerah untuk melihat pentingnya keberadaan tenaga honorer.
Menpan RB Tjahjo, kata Anto, bisa datang ke tempatnya bekerja sebagai honorer di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Di Buton, seluruh petugas pemadamnya adalah tenaga honorer, tak satu pun PNS.
"Ketika terjadi kebakaran, mereka bertugas seperti ASN yang luar biasa. Kan tidak mungkin juga kepala dinas yang angkat-angkat pompa," kata Anto.
Ada pula petugas kebersihan di Dinas Lingkungan Hidup, yang semuanya adalah tenaga honorer. "Kalau mereka tidak masuk satu hari saja, itu sampah sudah berhamburan di jalanan," kata Anto menekankan pentingnya keberadaan pekerja honorer.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah berpendapat, penghapusan tenaga honorer akan mengganggu gerak birokrasi karena memang kebanyakan tenaga honorer adalah pekerja administrasi atau teknis. Alhasil, pelayanan publik akan memburuk, bahkan anjlok.
Berdasarkan data Kemenpan RB per Juni 2021, tercatat ada 410.010 Tenaga Honorer Kategori II (THK-II). Sebanyak 123.502 orang di antaranya merupakan tenaga pendidik, lalu 4.782 tenaga kesehatan, 2.333 tenaga penyuluh, dan sisanya 279.393 tenaga administrasi.
Keberadaan honorer pekerja administrasi itu, kata Tjahjo, selama ini merupakan pendukung pelayanan. Sebab, jumlah PNS terbatas, terlebih di daerah yang baru dimekarkan.
"PNS di daerah pemekaran itu kan sangat sedikit karena hanya transferan dari daerah induknya. Birokrasinya didukung tenaga honorer. Ketika honorer disetop, ya tidak bisa bergerak birokrasinya," ujar Trubus kepada Republika.
Di daerah yang sudah mapan, lanjut dia, pelayanan publik juga akan anjlok ketika keberadaan honorer dihapus. Meski sudah ada pelayanan digital, tapi masyarakat tetap butuh pelayanan langsung lantaran masih rendahnya literasi digital masyarakat.
Tak hanya pelayan di kantor-kantor pemerintahan yang terpengaruh, tapi juga pelayanan langsung di lapangan. Misalnya pelayanan yang diberikan petugas pengangkut sampah dan aparat satuan polisi pamong praja.
"Nah sekarang Satpol PP kebanyakan adalah honorer. Kalau dihapus, siapa yang mau jadi Satpol PP. Sedangkan Perda yang harus ditegakkan banyak sekali," ujarnya.
Agar roda birokrasi terus bergerak, Trubus menyarankan pemerintah untuk mengangkat semua THK-II menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tanpa tes. Mereka tak perlu lagi dites lantaran sudah berpengalaman bekerja selama belasan maupun puluhan tahun.