REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Mengembangkan potensi dan kebebasan berekspresi kelompok disabilitas menjadi hal yang penting agar lebih mandiri dan berdaya saing baik secara mental maupun ekonomi. Karena itu perlu berbagai upaya kampanye kebebasan berekpresi melalui berbagai aktivitas sosial.
Pada konteks global, data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2021 mengungkapkan terdapat 15 persen kelompok disabilitas dari 7 miliar penduduk dunia di tahun 2021. Dari sejumlah 15 persen itu, 80 persennya tinggal di negara berkembang. Berdasarkan data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) 2019, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebesar 9,7 persen dari jumlah penduduk, atau sekitar 26 juta orang.
Sayangnya dengan angka yang besar tersebut, berbagai permasalahan masih menyelimuti kelompok disabilitas tanah air. Sehingga perlu adanya kerja kolaborasi dari semua pemangku kepentingan dalam memenuhi hak penyandang disabilitas. "Kami berharap perlahan namun pasti tidak ada lagi diskriminasi bagi kelompok disabilitas dalam melakukan kebebasan berekspresi, termasuk menonton film nasional yang kita banggakan", kata Amin Shabana ketua Yayasan Matahatiku dalam keterangan tertulisnya Senin (30/5/2022).
Salah satu aktivitas sosial yang dapat dilakukan kalangan berkebutuhan khusus adalah menonton bioskop. Yayasan Matahatiku mempersiapkan acara ini seinklusif mungkin bagi semua kelompok disabilitas yang hadir. Setidaknya ada 4 kelompok disabilitas yang hadir yaitu disabilitas tuna netra, tuna rungu, tuna daksa dan mental. Mereka menyaksikan film KKN Di Desa Penari karya MD Picture.
Selama pemutaran film berlangsung terdapat 30 relawan disabilitas hadir di dalam studio. Relawan yang berperan sebagai pembisik bagi disabilitas tuna Netra dan juru bahasa isyarat bagi disabilitas tuna rungu. Mereka inilah yang menjadi jalan dalam membantu menjelaskan adegan film yang sulit dipahami kelompok disabilitas.
Secara teknis bioskop Inklusi bukanlah perkara yang sulit untuk dipenuhi pelaku perfilman nasional agar karya mereka juga dapat dinikmati kelompok disabilitas. Bagi eksibitor, sangat penting memikirkan bagaimana menyediakan studio sinema yang ramah bagi disabilitas. Bioskop yang ramah ini dimulai sejak kelompok disabilitas mencapainya hingga berada di dalam dan sekitar studio. Sementara bagi sineas dengan memproduksi versi inklusi pada setiap karya yang diproduki. Elemen inklusi misalnya bisa beruapa menambahkan audio description pada versi film ramah disabilitas.
Teknis bioskop inklusi juga bisa dilakukan dengan memberikan sesi pemutaran khusus bagi kelompok disabilitas saat film diputar di bioskop. Pada sesi pemutaran khusus ini yang perlu disiapkan yaitu relawan pendamping yang dibutuhkan. "Kebebasan berekspresi dalam mengakses karya film juga dimandatkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas Pasal 5. Sehingga semua tinggal bagaimana kita mendorong ini terwujud", ungkap Fajri Hidayatulah aktivis Himpunan Disabilitas Muhammadiyah yang juga hadir dalam kesempatan tersebut.