REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG – Kementerian Komunikasi dan Informasi gelar Focus Group Discussion dengan tema “Komunikasi Publik dan Massa: Strategi Komunikasi Media dalam Mensukseskan Komunikasi Publik Pemerintah” dalam rangka mempersiapkan Presidensi G-20. Acara ini digelar di Semarang, pada Rabu (25/5/2022).
Diskusi publik yang diselenggarakan secara hybrid ini membedah lebih dalam seputar komunikasi publik dan media. Dalam diskusi ini menampilkan tiga narasumber, yakni Staf Ahli Menteri Kominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa Kemenkominfo Prof. Widodo Muktiyo, Kaprodi S2 Ilmu Komunikasi UNS Andre N Rahmanto, dan Dosen FISIPOL UGM Nyarwi Ahmad.
Dalam keynote speechnya, Widodo Muktiyo, menjelaskan jika posisi Indonesia dalam presidensi G-20 ini menjadi posisi strategis untuk menjadi sebuah negara yang lebih maju, karena disitulah Indonesia bisa menjadi contoh bagi negara lain bagaimana cara Indonesia memberi contoh, untuk bisa membentuk interaksi antara antara pemerintah dan stakeholder terkait.
Widodo mengakui fungsi Kominfo sebagai government public relation masih belum optimal. Sehingga dibutuhkan kanal-kanal lain untuk mempublikasi hasil kerja pemerintah. Karena itulah aparatur sipil negara (ASN) juga akan turut dilibatkan.
ASN yang aktif di media sosial dan memiliki jumlah followers yang besar akan diberi wewenang khusus untuk menyebar informasi terkait program pemerintah kepada khalayak.
“Presidensi G-20, sangat strategis bagi Indonesia untuk bisa mencapai negara besar, negara maju. Sesuai target kita tahun 2045 Indonesia bisa menjadi empat negara besar di dunia yang maju, secara ekonomi maupun secara sosial,” kata Widodo, dalam rilisnya, Jumat (27/5/2022).
Widodo juga menjelaskan bagaimana membangun komunikasi publik yang kemudian dipercaya oleh masyarakat umum dalam menyangkut kebijakan dan program pemerintah bisa didukung oleh masyarakat yang pada selanjutnya adanya partisipasi pula dari masyarakat umum.
Menurutnya, dalam hal ini, humas memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk strategi komunikasi yang baik untuk mensukseskan semua kegiatan pemerintahan.
“Oleh karena itu, mulai dari strategi dan seterusnya, sampai kita membangun sebuah narasi, kontra narasi, sinergi, dan lainnya adalah hal yang sangat dasar dilakukan oleh seorang humas. Maka, mari kita menjalankan peran kita secara aktif dan proaktif, untuk memberikan sharing yang positif,” ujarnya.
Menurut Widodo, pentingnya peran pranata humas untuk aktif bermedia sosial sebagai penjembtan anatar pemerintah dengan pihak lain, diwajibkan setiap individu pranatahumas di Kementerian Lembaga, memiliki tiga media sosial yaitu Facebook, Instagram dan Twitter serta memilik minimal 1.000 followers hal ini ditekankan agar dapat mengimbangi perkembangan dunia digital yang serba cepat.
“Komunikasi publik yang baik dan menciptakan opini publik yang positif, serta diharapkan juga dapat mengedukasi masyarakat untuk jauh lebih bijak dalam mengkonsumsi informasi publik khususnya terkait isu-isu pemerintah yang disajikan oleh media,” tambah Widodo.
Sementara, Nyarwi Ahmad membuka pemaparan kritis mengenai media publik dalam tataran pemerintah. Menurutnya, masih kurangnya apresiasi terhadap upaya pemerintah yang sedang mempersiapkan G-20.
Hal ini, menurutnya, disebabkan karena masyarakat terbiasa dengan isu domestik dibanding isu-isu internasional seperti presidensi G-20. Di Indonesia, kata Nyarwi, isu internasional masih minim menjadi perbincangan.
“Kita itu di Indonesia (masyarakat) 90 persen pembahasannya masih domestik politik. Sedangkan G-20 adalah internasional politik dimata banyak orang. Makanya, publik itu kadang kala banyak kurang mengapresiasi dan memahani pentingnya Indonesia dalam G-20 ini,” ujar Nyarwi.
Di lain pihak, Kaprodi S2 Ilmu Komunikasi UNS Andre N Rahmanto menjelaskan bagaimana komunikasi publik, lewat media publik dalam menyiarkan program-program yang sedang dikampanyekan oleh lembaga pemerintah dapat sampai ke telinga masyarakat luas.
Andre menegaskan mengenai apa tujuan dari komunikasi publik sendiri dalam closing statement kepada para audiens. Menurutnya, mengutip dari closing statement dari Nyarwi Ahmad sebelumnya, bahwa pemerintahan secara politik boleh berganti, namun komunikasi publik pemerintah harus dibangun menjadi sebuah sistem yang sudah berjalan dengan baik.
“Nanti, meskipun pemerintahan berganti, kalau sistem komunikasi publiknya bagus, tinggal melanjutkan saja," ujar Andre.