REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah pusat beralasan pembentukan daerah otonomi baru (DOB) di Papua bertujuan untuk mengakselerasi pembangunan dan memperluas jangkauan pelayanan birokrasi kepada masyarakat. Eks staf ahli dirjen otonomi daerah Kemendagri, Frans Maniagasi menganggap, pemekaran tidak hanya berfokus kepada percepatan pembangunan dan memperpendek rentang kendali pemerintahan.
Pembentukan provinsi baru di Papua juga berfungsi agar ada sinergitas terhadap eksistensi dan keberlanjutan dari paradigma nilai lokal. "Pemekaran tak memandang nilai lokal sebagai antipemekaran dan perubahan atau resistensi terhadap pembangunan," ucap Frans dalam siaran di Jakarta, Sabtu (21/5/2022).
Pengamat politik Papua tersebut menerangkan, pemekaran Papua bukan sebatas rencana di atas kertas, melainkan bakal segera terwujud. Merujuk aspek yuridis Pasal 76 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua melegitimasi terjadinya pemekaran di Bumi Cenderawasih.
"Mekanismenya dapat dilakukan bottom up dan top down hal ini dapat ditunjukkan pada ayat (1) pemekaran provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi dan perkembangan pada masa yang akan datang," kata Frans.
Koordinator Forum Diskusi Sabang-Merauke (Forsam) itu menerangkan, Ayat (2) Pasal 76 UU Otsus Papua mengamanatkan, pemerintah dan DPR dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, juga mengangkat harkat dan martabat OAP dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.
"Sementara di ayat (3), pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam UU mengenai pemerintahan daerah," kata Frans.
Menurut Frans, aturan tersebut merefleksikan pemerintah berusaha melakukan pemekaran provinsi lantaran beberapa argumentasi. Pertama alasan ideologis sebagai ekses warisan sejarah integrasi Papua pada 1963, dan menyusul Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, serta diperparah berbagai pelanggaran HAM yang tak pernah tuntas diselesaikan.
"Oleh karena itu ayat (2) menjadikan patokan pemekaran wilayah Papua untuk kepentingan strategis nasional untuk mengurai berbagai persoalan dan konflik di Papua berkenan dengan percepatan pembangunan kesejahteraan," kata Frans.