Idul Fitri dirayakan semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Namun Lebaran dengan segala pernik di dalamnya, hanya ada di sini, Indonesia. Tak heran kerinduan akan mudik Lebaran itu sudah membuncah setelah dua tahun tertahan.
Asal kata Lebaran hingga saat ini memang belum ada penjelasannya secara epistimologis. Banyak versi menyebutkan asal kata itu.
Di masyarakat kita ada yang mengatakan Lebaran itu berasal dari kata Lebar, yang artinya telah selesai. Jika menggunakan ilmu gathuk ini juga masuk akal, logis. Setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa, masyarakat mengakhirnya dengan Lebaran.
Namun uniknya, meski dianggap dari bahasa Jawa, masyarakat Jawa sendiri jarang menggunakan diksi ini. Orang Jawa lebih sering menyebut Idul Fitri dengan Rioyo atau juga Riyadhin.
Demikian juga Rioyo, tidak ada penjelasan pasti tentang diksi ini. Ada yang menganggap Rioyo itu berasal dari riya’, bahasa Arab yang dapat diterjemahkan sebagai perbuatan pamer. Ini juga logis dan gathuk. Pasalnya, setiap Idul Fitri di negeri ini selalu dibarangi dengan belanja baju baru, celana baru, motor baru, pokoknya serba baru.
Lebaran lebih banyak digunakan orang-orang Betawi namun dengan pemaknaan yang berbeda dengan yang diadopsi dari bahasa Jawa. Kata Lebaran berasal dari kata lebar, yang dapat diartikan luas yang merupakan gambaran keluasan atau kelegaan hati setelah melaksanakan ibadah puasa, serta kegembiraan menyambut hari kemenangan dan bersilaturahmi dengan karib kerabat.
Apapun nama lain dari Idul Fitri, yang jelas bangsa ini memliki kebesaran dan keagungan budaya yang luar biasa. Silaturahmi adalah harga mati yang tidak bisa terganti kemajuan teknologi.
Silaturahmi tak bisa digantikan segala fasilitas sosial media yang ditopang internet saat ini. Sebab itulah, mudik adalah fardlu ‘ain bagi masyarakat Indonesia. Meminta maaf belum afdol bila tidak berjabat tangan. Tak akan ada pemandangan mudik di negara lain, selain Indonesia.
Nah, dalam perayaan Lebaran itu, pada momentum silaturahmi, itu ada tradisi yang disebut unjung-unjung di Surabaya, juga kota-kota lain. Di masa kecil dulu, momentum unjung-unjung ini sangat dinanti. Setelah meminta maaf kepada orang tua dan keluarga, bocah-bocah secara berkelompok ada berkunjung ke rumah-rumah tetangga.
"Sungguh itu sangat menyenangkan. Sekarang unjung-unjung ke tetangga sudah mulai hilang,” kata Syaiful Padmoyo Adi, warga Semolowaru Surabaya, yang kini menjadi guru SMP di Lamongan.
Didik, panggilan akrabnya, menceritkan Lebaran sekira tahun 80an, ia dan teman-teman kecilnya sangat sregrep unjung-unjung. Setiap pemilik rumah yang dikunjungi anak-anak itu, pasti memberi pesangon uang.
Momuntum semacam ini sangat membahagiakan bagi yang berkunjung maupun yang dikunjungi. Anak-anak itupun tidak mengenal lelah unjung-unjung.
“Bahkan saat itu saya dan teman-teman itu sampai ke kampung sebelah. Tidak peduli kenal atau tidak, rumahnya pasti kita masuki,” kenang Didik sambil tersenyum.
Tradisi unjung-unjung agar dapat uang sangu ini memang begitu dengan tradisi pemberian angpau dari Cina.
“Banyak sekali alkulturasi yang terjadi di negeri ini,” kata Mashuri, peneliti BRIN.
Dalam Wikipedia, istilah angpao dalam kamus berbahasa Mandarin didefinisikan sebagai uang yang dibungkus dalam kemasan merah sebagai hadiah, bonus bayaran, uang bonus yang diberikan kepada pembeli oleh penjual karena telah membeli produknya, atau sogokan. Arti sogokan ini identik dengan sebutan suap, yang berkonotasi negatif. Sedangkan arti bonus bayaran merupakan hadiah, yang bermakna positif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), angpao dikenal dengan kata angpau, sudah mengalami transliterasi. Menurut KBBI, angpau adalah amplop kecil untuk tempat uang sumbangan yang diberikan kepada orang yang punya hajat seperti pernikahan dalam adat Cina.
Masih dalam KBBI, istilah lain angpau adalah hadiah atau pemberian uang.
Angpau kini menjadi tradisi atau kebiasaan di Indonesia, dan menjadi budaya masyarakat umum. Termasuk masyarakat Islam, angpau digunakan untuk mengganti sebutan hadiah, yang diberikan orang tua pada anak-anak, usai melangsungkan sungkeman atau unjung-unjung di Hari Raya Idul Fitri.
Patutlah, Lebaran di negeri yang kaya budaya ini selalu dirindukan. Apalagi setelah 2 tahun tidak bisa mudik gegara pandemi. Mudik dengan pernuh perjuangan tidak akan menjadi masalah, asal bisa berjabat tangan untuk sama-sama merendahkan hati berucap, mohon maaf lahir dan batin.
Angpaunya mana?