Senin 25 Apr 2022 17:14 WIB

Larangan Ekspor Minyak Goreng Sesuai Aspirasi, Tapi Jangan Jadi Kebijakan 'Angin-anginan'

Anggota DPR ingatkan kebijakan larangan batu bara yang segera dibatalkan oleh Luhut.

Sejumlah warga antre membeli minyak goreng curah di salah satu toko di Kelurahan Kemandungan, Tegal, Jawa Tengah, Senin (25/4/2022). Warga harus antre hingga lima jam untuk membeli minyak goreng curah seharga Rp15.500 ribu per liter yang pembeliannya juga dibatasi sebanyak 10 liter per orang.
Foto:

 

Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) mengharapkan, dampak dari kebijakan pemerintah yang akan melarang ekspor minyak sawit (CPO) adalah penurunan harga minyak goreng. Tanpa itu, kebijakan yang ditempuh hanya akan merugikan banyak pihak karena memberikan konsekuensi besar pada dunia usaha.

"Kita mendorong larangan ekspor ini sebagai bagian untuk setabilisasi harga minyak goreng dalam negeri karena harga saat ini tinggi," kata Sekretaris Jenderal Ikappi, Reynaldi, kepada Republika, Ahad (24/4/2022).

Lebih lanjut, Reynaldi menuturkan, dengan akan adanya larangan ekspor, perusahaan-perusahaan CPO akan menggelontorkan pasokannya untuk pasar dalam negeri. Hal itu sekaligus akan mendorong persaingan pasar yang sehat sehingga harga diharapkan akan semakin kompetitif antar perusahaan. 

Ia mengatakan, yang diinginkan masyarakat adalah disparitas harga yang kecil, namun dalam tingkat harga yang rendah. "Sebelum ada gaduh ini kan, minyak goreng curah hanya Rp 10 ribu-Rp 11 ribu per liter, kemasan paling Rp 12 ribu-Rp 13 ribu per liter saja," katanya. 

Menurutnya, kebijakan larangan ekspor memberikan waktu bagi pemerintah untuk membenahi tata niaga minyak sawit sekaligus minyak goreng sebagai produk turunannya, di dalam negeri.

Adapun, Serikat Petani Indonesia (SPI) menyatakan, kebijakan pemerintah yang akan melarang ekspor minyak sawit mentah (CPO) mulai 28 April mendatang telah berdampak pada turunnya harga tandan buah segar (TBS). Oleh karena itu, SPI meminta pemerintah menjamin stabilitas harga TBS.

Ketua Umum SPI, Henry Saragih, menuturkan, kebijakan larangan ekspor tentu akan membuat banjir produksi CPO di dalam negeri. Sebagai gambaran, tahun 2021 total produksi CPO Indonesia diperkirakan mencapai 46,89 juta ton, sementara konsumsi nasional untuk agrofuel dan pangan diperkirakan 16,29 juta ton.

"Artinya terdapat sekitar 30 juta ton yang selama ini dialokasikan untuk diekspor,” kata Henry, Senin (25/4/2022).

"Hari ini hasil laporan petani anggota SPI di berbagai daerah seperti Riau, Sumatera Utara, harga TBS sawit seharga Rp 1.700 - Rp 2.000 per kg, sudah terkoreksi ada yang 30 persen bahkan 50 persen," ujarnya menambahkan.

Henry menuturkan, ke depan perkebunan sawit harus diurus oleh rakyat, didukung oleh pemerintah dan BUMN, bukan oleh korporasi. Henry memaparkan, saat ini korporasilah yang menguasai perkebunan sawit di Indonesia. Dalam praktiknya terjadi banyak pelanggaran.

“Perkebunan sawit korporasi telah mengubah hutan menjadi tanaman monokultur, menghilangkan kekayaan hutan kita, juga sumber air berupa rawa-rawa, sungai dan sumber-sumber air lainnya. Korporasi sawit juga terbukti telah menggusur tanah petani, masyarakat adat dan rakyat, sampai merusak infrastruktur di daerah,” kata dia.

Henry juga menyinggung kesejahteraan buruh-buruh korporasi sawit yang ditelantarkan. Menurut dia, kehadiran korporasi sawit sering mengabaikan izin-izin yang ada, ilegal, dan terjadi kasus pelanggaran kewajiban pajak yang harus dibayarkan kepada negar.

Oleh karena itu Henry menyampaikan, perkebunan sawit harus di diserahkan pengelolaannya kepada petani dikelola usaha secara koperasi mulai dari urusan tanaman, pabrik CPO dan turunannya.

“Negara harus berperan dalam transisi ini dengan melaksanakan reforma agraria, tanah perkebunan atau pribadi yang luasnya di atas 25 hektare dijadikan tanah obyek reforma agraria (TORA),” tegasnya.

 

photo
Infografis Perjalanan Minyak Goreng dari HET hingga Ikuti Mekanisme Pasar - (Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement