REPUBLIKA.CO.ID, AKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menanggapi tudingan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang menyebut aplikasi PeduliLindungi melanggar hak asasi manusia (HAM), terutama terkait privasi data penduduk. Kemenkes menyatakan, tudingan itu tak berdasar.
"Tuduhan aplikasi ini tidak berguna dan juga melanggar hak asasi manusia (HAM) adalah sesuatu yang tidak mendasar," kata Juru Bicara Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, dalam siaran persnya, dikutip Sabtu (16/4).
Nadia menjelaskan, PeduliLindungi telah memuat prinsip-prinsip tata kelola aplikasi yang jelas, termasuk kewajiban untuk tunduk dengan ketentuan perlindungan data pribadi. Pengembangan PeduliLindungi juga mengacu pada kesepakatan global dalam Joint Statement WHO on Data Protection and Privacy in the Covid-19 Response tahun 2020, yang menjadi referensi berbagai negara atas praktik pemanfaatan data dan teknologi protokol kesehatan Covid-19.
Dia mengatakan aspek keamanan sistem dan perlindungan data pribadi pada PeduliLindungi menjadi prioritas Kementerian Kesehatan. Seluruh fitur PeduliLindungi beroperasi dalam suatu kerangka kerja perlindungan dan keamanan data yang disebut Data Ownership and Stewardship.
Kemenkes, kata dia, telah melakukan kerja sama strategis dengan berbagai pihak untuk memastikan sistem elektronik pada PeduliLindungi telah aman dan layak digunakan. "Bersama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Kementerian Kesehatan telah menerapkan sistem pengamanan berlapis yaitu pengamanan pada aplikasi, pengamanan pada infrastruktur (termasuk pusat data) dan pengamanan data terenkripsi," ujarnya.
Selain itu, PeduliLindungi telah melalui rangkaian penilaian aspek teknis dan legalitas dalam rangka pendaftaran sebagai penyelenggara sistem elektronik pada Kementerian Komunikasi dan Informatika; dan penempatan data di Pusat Data Nasional Kementerian Komunikasi dan Informatika. "Dengan demikian, PeduliLindungi merupakan sistem elektronik yang andal, aman, terpercaya, dan bertanggung jawab," kata Nadia.
Oleh karena itu, Nadia mengimbau semua pihak agar teliti dalam membaca laporan asli dari US State Department tersebut. "Laporan tersebut tidak menuduh penggunaan aplikasi ini melanggar HAM. Kami memohon agar para pihak berhenti memelintir seolah-olah laporan tersebut menyimpulkan adanya pelanggaran," kata Nadia.
Nadia menambahkan, aplikasi PeduliLindungi berkontribusi besar dalam pengendalian pandemi di Tanah Air. Sejak pertama kali diluncurkan pada Maret 2020, aplikasi ini sudah diunduh oleh lebih dari 90 juta orang dan telah membantu mencegah warga yang terinfeksi mengakses fasilitas dan tempat umum seperti pusat perbelanjaan, airport, pelabuhan, hotel, dan gedung perkantoran.
Sepanjang 2021-2022, PeduliLindungi telah mencegah 3.733.067 orang dengan status merah (vaksinasi belum lengkap) memasuki ruang publik. Aplikasi tersebut juga mencegah 538.659 upaya orang yang terinfeksi Covid-19 (status hitam) melakukan perjalanan domestik atau mengakses ruang publik tertutup.
Sebelumnya, Jumat (15/4), Departemen Luar Negeri Amerika Serikat merilis Laporan Praktik Hak Asasi Manusia (HAM) di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam laporan berjudul 2021 Country Reports on Human Rights Practices itu disebutkan bahwa aplikasi PeduliLindungi yang digunakan pemerintah Indonesia melanggar HAM, terutama terkait dengan privasi data penduduk.
PeduliLindungi memang mewajibkan individu untuk check-in di aplikasi tersebut sebelum memasuki ruang publik. Selain itu, aplikasi ini menyimpan informasi tentang status vaksinasi individu.
Namun, laporan itu menyebut bahwa pengelolaan data dalam aplikasi itu disesalkan oleh kelompok pendukung HAM. "LSM menyatakan keprihatinan tentang informasi apa yang dikumpulkan dan bagaimana data disimpan dan digunakan oleh pemerintah," tulis laporan tersebut tanpa menyebut nama LSM yang dimaksud.